Kamis, 18 Maret 2010

Akademik dan ilmiah


Kebebasan Akademik dan Kebenaran Ilmiah
Latar Belakang
Salah satu keunggulan akademis bila dibandingkan dengan komunitas lain adalah ketajaman analisisnya terhadap setiap masalah yang dihadapinya sebagai konsekuensi dari kecanggihan intelektualnya. Namun salah satu aspek yang sering dikritisi pada perilaku kelompok ini adalah dominasi intelektualnya yang sering kali menyebabkan hati nuraninya kurang berbunyi, perasaannya mengalami erosi dan bahkan sering kali mendewakan rasionalitasnya. Sebagai akibat dari munculnya kebebasan akademik yang kebablasan, yang tanpa dibatasi dengan aturan-aturan serta penghargaan yang cukup terhadap etika dan moral. Oleh karenanya permahaman tentang hakekat “ kebebasan akademik” itu sendiri perlu diluruskan.
Disamping persoalan tentang “ kebebasan akademik ” ternyata perbincangan mengenai “kebenaran ilmiah” pun tak kalah pentingnya untuk dibahas. Mengingat dasar pembahasan utama dalam Filsafat Ilmu adalah keilmuan yang notabene-nya berkaitan dengan segala hal yang berbau ilmiah. Kebenaran ilmiah sebagai entitas struktur komponen ilmu pendidikan, dimana hakekat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut paut dengan tujuan, latar belakang, cara dan hasilnya akan dipraktekan berdasarkan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaaannya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah-masalah sebagai berikut :
1. Apa definisi kebebasan akademik?
2. Bagaimana sejarah kebebasan akademik itu?
3. Bagaimana pelaksanaan kebebasan akademik tersebut?
4. Apa definisi kebenaran ilmiah itu?
5. Apa karakteristik dan fungsi kebenaran ilmiah ?
6. Bagaimana teori kebenaran ilmiah itu?
Tujuan Penulisan
Merujuk pada rumusan masalah di atas penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui hakekat kebebasan akademik dan kebenaran ilmiah, memahami bagaimana sejarah kebebasan akademik dan pelaksanaannya, mengetahui karakteristik dan fungsi serta teori kebenaran ilmiah.
Definisi Kebebasan Akademik
Menurut PP No. 60 Tahun 1999, kebebasan akademik merupakan kebebasan yang dimiliki oleh anggota sivitas akademika untuk melaksanakan kegiatan yang terkait dengan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggungjawab dan mandiri.Menurut Arthur Lovejoy yang dikutip oleh Haryasetyaka (2004), kebebasan akademik adalah kebebasan seseorang atau seorang peneliti di lembaga i1mu pengetahuan untuk mengkaji persoalan serta mengutarakan kesimpulannya baik melalui penerbitan atau perkuliahan tanpa campur tangan dari penguasa politik atau keagamaan atau lembaga yang mempekerjakannya kecuali apabila metode yang digunakannya tidak memadai atau bertentangan dengan etika professional atau lembaga yang berwenang dalam bidang keilmuannya.Menurut Nymeyer (1956) kebebasan akademik adalah kebebasan anggota fakultas untuk mengajar pada suatu sekolah dengan pikirannya sendiri dan mempromosikan spekulasi dan kesimpulan yang dibuat secara independen atau bebas dari apa yang mungkin dikehendaki institusi.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kebebasan akademik dilaksanakan olch lembaga ilmu pengetahuan. Jika kedua definisi tersebut digabung maka lembaga pelaksana kebebasan akademik adalah Perguruan Tinggi. Kebebasan akademik yang dilaksanakan oleh sivitas akademik tidak bersifat mutlak atau absolut. Kebebasan tersebut harus memperhatikan etika professional, etika yang berlaku dalam masyarakat. Jika kita mengacu kepada UU No. 39 Talum 1999 tentang HAM, maka kebebasan akademik tidak dibenarkan bertentangan dengan nilai-nilai agama, kesusilaan, keterbitan, kepentingan umum dan keutuhan bangsa. Pelaksanaan kebebasan akademik dapat dilakukan melalui berbagai media seperti melalui media cetak, media elektronik, tatap muka atau bentuk media lainnya. Kebebasan akademik harus dipahami sebagai seperangkat hak dan kewajiban dengan tetap bertanggung jawab dan akuntabel penuh kepada masyarakat. Mandiri, dapat diartikan mampu berbicara dengan bebas tentang masalah-masalah etika, budaya, sosial, ekonomi dan lain-lain secara mandiri. Sedangkan menurut Prof. Dr .Abdullah Ali M.Sc. kebebasan akademik sebagai bagian dari kebebasan yang bertanggung jawab yang tidak terpisahkan dari kebebasan setiap warga Negara.
Sejarah Kebebasan Akademik
Munculnya tuntutan untuk mendapatkan hak kebebasan akademik harus dipahami dalam konteks kesejarahan, yaitu dalam abad pertengahan, tatkala gereja merupakan pusat wewenang dan wibawa untuk mendalami berbagai masalah yang berkaitan dengan upaya mencari kebenaran filsafat dan ilmu. Pada masa itu, upaya tersebut bukan saja dilakukan dalam lingkungan gereja, melainkan juga di luar gereja, yaitu di kalangan para ilmuwan. Namun karena pada masa itu masih berlaku asas ' faith-over-reason', maka bila terjadi perbedaan pendapat antara lingkungan gereja dan kalangan ilmuwan, maka dengan sendirinya pendapat lingkungan gereja (berdasarkan faith) diunggulkan atas pendapat kalangan ilmuwan (berdasarkan reason). Keabsahan pendapat dari lingkungan gereja itu bisa diperkuat oleh melalui pernyataan secara ex cathedra (dari mimbar), yang dalam hal ini berarti dari mimbar gereja.
Selama abad pertengahan perbedaan pendapat antara kalangan gereja dan ilmuwan sering menimbulkan pertentangan yang tak terselesaikan. Perbedaan pendapat itu mungkin saja berlangsung sekedar dalam posisi kesejajaran ( juxta-position) tanpa saling berbenturan, dalam hal mana tidak terjadi sengketa dengan konsekuensi serius. Lain halnya kalau perbedaan pendapat itu terjadi dengan pengambilan posisi yang saling berlawanan (contra-position). Perkembangan ilmu yang mulai pesat menghasilkan berbagai temuan dan pernyataan pendapat tidak selalu sejalan dengan pandangan kalangan gereja. Makin lama makin banyak terjadi benturan antara hasil perenungan dalam lingkungan gereja dan pemikiran di kalangan ilmuwan. Seiring dengan perkembangan tersebut, masyarakat ilmuwan makin berhasrat untuk membedakan diri dari lingkungan gereja sejauh kegiatannya bersangkutan dengan ikhtiar mencari kebenaran ilmiah (Scientific truth) melalui penalaran (resasoning). Dalam ikhtiar tersebut perlu pertama-tama dibedakan antara pandangan yang berorientasi pada dalil-dalil keimanan di satu pihak dan pendekatan yang berdasarkan pada pengamatan dan penalaran. Demikianlah diterimanya sesuatu kebenaran bisa merupakan konsekuensi tindakan keimanan (act ofraith). dan bisa juga sebagai konsekuensi tindakan penalaran (act of reason). Perkembangan ini merintis diterimanya kesepakatan, bahwa di samping adanya kebenaran yang diterima berdasarkan keimanan, juga ada kebenaran yang diterima melalui penalaran. Faith dan reason tidak perlu satu terhadap lainnya saling ditempatkan apirori pada posisi saling bertentangan, apalagi dalam perbandingan superior-inferior. Demikianlah tidak tertutup kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat antara lingkungan gereja dan kalangan ilmuwan tanpa ada keharusan untuk secara apriori mengunggulkan posisi yang satu terhadap lainnya.
Pelaksanaan Kebebasan Akademik
Setiap institusi pendidikan pada hakekatnya adalah pusat kegiatan transfer dan transmisi ilmu pengetahuan antar akademisi. Interaksi, transfer, dan transmisi ilmu pengetahuan tersebut melibatkan struktur, sarana, prasarana, metodologi dan pengelola, hingga institusi-institusi tersebut pada gilirannya akan menjelma menjadi sebuah mesin ilmu pengetahuan. Turbin proses ilmu pengetahuan tersebut pada akhirnya memunculkan konkritisasi-nya di tengah masyarakat melalui berbagai kegiatan pengembangan masyarakat, yang tidak menutup kemungkinan pada perkembangan selanjutnya akan memunculkan permasalahan-permasalahan, terkait dengan peran dan fungsi akademisi selaku pengemban moral keilmuan yang objektif dan ilmiah. Salah satu karakter utama akademisi adalah komitmennya terhadap proyek rekonstruksi atau rethingking segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat dan peradaban, terutama apabila kondisinya sudah kurang menguntungkan bagi kemanusiaan. Untuk itu, mereka senantiasa akrab dengan change, dan memang mereka sendiri yang bergerak sebagai agen-nya. Akan tetapi pada saat yang sama para akademisi juga terlalu sadar bahwa mereka sedang berada dalam masa transisi yang harus hidup dalam kejujuran, keintelektualan, keyakinan dan kekritisan.
Salah satu perkara yang dianggap urgen dalam hal ini adalah bagaimana seharusnya kebebasan akademik itu dijalankan di lembaga ilmu pengetahuan ( baca : dalam hal ini diwakili oleh Perguruan Tinggi ) oleh civitas akademika. Kebebasan akademik yang dilaksanakan oleh civitas akademika tidaklah mutlak dan absolut. Kebebasan tersebut haruslah memperhatikan etika professional, etika yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kebebasan akademik tidak akan dibenarkan jika bertentangan dengan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa. Pelaksanaannya dapat dilakukan melalui berbagai media massa, tatap muka dan lain sebagainya. Yang terpenting adalah kebebasan akademik harus dipahami sebagai seperangkat hak dan kewajiban dengan tetap bertanggung jawab penuh kepada masyarakat.
Ada 3 konsep pelaksanaan kebebasan akademik. Pertama, sebagai peneliti dosen harus bebas. Kedua, sebagai pemikir asli dosen harus bebas tanpa mematuhi ( terikat dan kaku ) hal-hal yang berlaku di masa lalu. Ketiga, sebagai penyebar gagasan kedua, setelah sebelumnya ada orang lain yang mengemukakannya, dosen dalam beberapa hal mungkin bebas, namun dalam beberapa hal lainnya mungkin tidak bebas.
Kebebasan akademik terdiri dari proteksi terhadap independensi intelektual profesor, peneliti dan mahasiswa dalam mencari/menggali pengetahuan dan mengekspresikan gagasan-gagasan yang bebas dari turut campur legislator atau pihak yang berwenang dalam instutisinya sendiri. Ini berarti tidak ada kekolotan politik, ideologi atau agama yang dibebankan kepada professor, peneliti dan mahasiswa melalui berbagai cara. Pimpinan juga tidak memasukkan kekolotan tersebut melalul pengontrolan budget universitas. Dalam kondisi tertentu, kebebasan akademik bagi dosen atau sebagai pengajar (untuk membedakan dosen sebagai peneliti dan pemikir asli) diperlukan, tanpa harus memperhatikan apa yang orangtua atau mahasiswa inginkan. Hal ini biasanya berlaku pada sekolah ( lembaga pendidikan ) Negeri. Di sisi lain mahasiswa bebas belajar, mengambil, mengikuti pandangan yang disampaikan dalam perkuliahan dan bebas menilai materi yang diberikan tersebut. Mereka mendapat perlakuan yang sama dalam pembelajaran serta tidak boleh dipaksa dalam kelas maupun di lingkungan akademik untuk menerima pendapat atau gagasan tentang filosofi, politik dan isu-isu lain, merupakan bagian dari pelaksanaan kebebasan akademik.
1. Model Pelaksanaan Kebebasan Akademik di Perguruan Tinggi
Dalam institusi akademik, suatu organisasi yang sehat dicirikan oleh kemampuannya menumbuhkembangkan kebebasan akademik, tingginya tingkat inovasi dan kreativitas, pemberdayaan individu untuk saling bertukar pengetahuan untuk membangun keberhasilan organisasi. Aktifitas kebebasan akademik di Perguruan Tinggi adalah di tingkat peer group di bawah koordinasi komisi guru besar. Tuntutan dari peer group naik ke komisi guru besar. Pada komisi guru besar, tuntutan ini dikonversikan menjadi rancangan keputusan dan kebijakan. Dalam merumuskan rancangan ini komisi guru besar berkoordinasi dengan PR, LP dan LPM. Rancangan yang sudah matang lalu dibawa ke rapat senat universitas. Kemudian keputusan dan kebijakan tersebut ditetapkan oleh rektor setelah digodok dalam rapat senat. Hasilnya disampaikan ke peer group untuk dilaksanakan. Lembaga (perguruan tinggi) hendakuya menjamin bahwa semua anggota komunitas akademik yang sibuk meneliti diberikan pelatihan yang tepat, sumber daya dan dukungan yang dibutuhkan. Hak-hak intelektual dan budaya penggunaan hasil-hasil penelitian hendaklah digunakan bagi kemaslahatan umat manusia dan dilindungi sehingga tidak sampai disalahgunakan. Lembaga seharusnya meningkatkan penelitian di semua bidang ilmu, memajukan pengetahuan melalui penelitian, dan mendidik mahasiswa menjadi sarjana yang kritis dalam menganalisis masalah masyarakat.
2. Manfaat Kebebasan Akademik
Kebebasan akademik mempunyai manfaat antara lain, yaitu :
a. Mempercepat transfer dan perkembangan iptek.
b. Membantu memecahkan dan menjawab problema di masyarakat.
c. Membantu masyarakat berpikir, memahami dan bertindak yang pada gilirannya mampu mendorong kearah kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
d. Kebebasan akademik akam melahirkan masyarakat beradab. Dimana nilai-nilai kemanusiaan mendapat tempat tertinggi, subjektivitas individu diakui, setiap individu menyadari tanggungjawabnya terhadap diri dan masyarakat, dengan hukum sebagai sumber aturannya dan kepentingan bersama adalah tujuannya.
e. Mendorong dan mempercepat pelaksanaan demokrasi di masyarakat. Demokrasi mendambakan generasi-generasi kritis, rasional, antiabsolutisme yang menghargai prularisme individu dengan dialog sebagai jalan kompromi.
f. Menumbuhdewasakan kadar intelektual, emosional dan spiritual manusia.
g. Menjaga nilai-nilai masyarakat dan kebenaran universal.
h. Menumbuhkembangkan kepeloporan dan keteladanan dari para cendekiawan, sehingga erosi moral dapat diatasi.
i. Menghasilkan para sarjana sebagai pencipta kerja bukannya pencari kerja.
j. Menumbuhkan perubahan dan pembaharuan yang sangat radikal di masyarakat.
k. Sarana bagi pengembangan masyarakat yang berbasis iptek. Karenanya pe mbelajaran dan penelitian menjadi komponen penting dari pembangunan berkelanjutan dari kebudayaan, sosial ekonomi dan lingkungan masyarakat dan bangsa.
D. Definisi Kebenaran Ilmiah
Kebenaran adalah keadaan yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya. Ilmiah adalah keilmuan; ilmu pengetahuan; sains. Kebenaran ilmiah berarti sesuatu yang dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan kaidah keilmuan atau metode ilmiah.
Fungsi dan Karakteristik Kebenaran Ilmiah
Semua kebenaran bermanfaat bagi manusia demikian juga dengan kebenaran ilmiah. Fungsi dari kebenaran ilmiah adalah : deskriptif, prediktif, dan pengendalian berkenaan dengan dengan gejala-gejala yang ada dalam dunia pengalaman manusia.Fungsi deskriptif menunjuk pada keharusan ilmu untuk bisa memberikan penjelasan secara rinci, lengkap, dan runtut mengenai berbagai hal yang menjadi perhatian manusia. Penjelasan tersebut bisa bersifat deskriptif, preskriptif, eksposisi pola, maupun rekonstruksi historis.
Bila gejala-gejala yang ada di alam semesta dapat dijelaskan, maka selanjutnya dapat dilakukan prediksi atau membuat perkiraan-perkiraan tentang apa yang akan terjadi kemudian. Inilah fungsi kedua dari ilmu, yaitu fungsi prediktif. Atas dasar hasil prediksi, selanjutnya dapat dilakukan pengendalian, yaitu mencegah agar gejala-gejala yang tidak diinginkan tidak terjadi serta mendorong agar terjadi gejala-gejala yang dikehendaki.
Telah dipaparkan di atas bahwa dengan pendekatan ilmiah diperoleh pengetahuan ilmiah atau ilmu. Ilmu dapat dipahami sebagai proses, prosedur, dan produk (The Liang Gie, 2004: 90). Pembahasan berikut ini ditekankan pada makna ilmu sebagai produk. Sebagai produk ilmu tidak lain adalah pengetahuan atau kebenaran ilmiah yang memiliki karakteristik, yaitu : (a) sistematisasi; (b) keumuman; (c) rasionalitas; (d) objektivitas; (e) verifiabilitas; dan (f) komunalitas.
Pengetahuan dapat digolongkan sebagai ilmu bila pengetahuan tersebut tersusun secara sistematis. Dan apa yang tersusun secara sistematis sebagai suatu kesatuan tersebut haruslah memiliki sifat keumuman (generality), artinya bahwa kebenaran yang terkandung didalamnya harus dapat berlaku secara umum atau luas jangkauannya.Ciri rasionalitas mengandung makna bahwa kebenaran ilmiah bersumber pada pemikiran rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika. Sedangkan ciri objektivitas menunjuk pada kesesuaian antara hal-hal yang rasional dengan realitas. Ciri verifiabilitas mempunyai arti bahwa kebenaran ilmiah harus dapat diperiksa kebenarannya, diuji ulang oleh setiap anggota masyarakat ilmuwan. Hal ini menunjuk bahwa kebenaran ilmiah tidak bersifat mutlak atau final. Adapun ciri terakhir dari kebenaran ilmiah yaitu komunalitas memiliki arti bahwa kebenaran ilmiah itu merupakan pengetahuan yang menjadi milik umum. Sedangkan Menurut Sonny Keraf A. dan Mikhael Dua (2001: 75), bahwasanya karakteristik kebenaran ilmiah mempunyai sekurang-kurangnya tiga sifat dasar, yaitu : rasional-logis, isi empiris, dan dapat diterapkan (pragmatis). Hal itu berarti bahwa kebenaran ilmiah yang logis dan impiris itu pada akhirnya dapat diterapkan dan digunakan bagi kehidupan manusia.
Teori Kebenaran Ilmiah
1. Kebenaran Positivistik
Kebenaran ilmiah itu bersifat universal, obyektif, dan bebas nilai. Untuk memperoleh kebenaran itu perlu dilakukan pendekatan deduktif, yaitu dengan bertolak dari hal yang bersifat umum dan abstrak ke arah yang khusus dan konkrit, serta didasarkan pada teori-teori tertentu dengan prosedur yang baku. Untuk digunakan piranti (tools) yang bersifat nomotetik yaitu yang abstrak dan berlaku universal berupa angka-angka matematis atau lazim dikenal dengan statistik. Tradisi ini dikenal sebagai paradigma positivis, dengan landasan berpikir : “kalau sesuatu itu ada, maka sesuatu itu mengandung besaran yang dapat diukur.” (Eichelberger,h.4).
Para positivis berpendapat bahwa peneliti adalah pengamat obyektif atas peristiwa yang ada di alam semesta, dimana peneliti tersebut tidak mempunyai pengaruh atau dampak terhadap peristiwa tersebut. Para penganut positivis yang setia memandang pengetahuan sebagai pernyataan mengenai keyakinan atau fakta yang dapat diuji secara empirik, dapat dikonfirmasi atau dapat ditolak. Variabel mengenai ciri manusia, seperti misalnya kemampuan berbahasa, dapat dinyatakan dalam bentuk istilah fisik yang dapat dihitung sebagaimana halnya dalam ilmu alam. Kemampuan membaca misalnya ditunjukkan dengan indikator perbendaharaan kata, gramatika, ejaan, dan pemahaman. Indikator ini kemudian dijabarkan secara kuantitatif dalam serangkaian instrumen yang hasilnya dapat dinyatakan dengan angka. Demikian pula motivasi belajar misalnya dijabarkan dalam indikator operasional keinginan, ketekunan, usaha, persaingan dsb. Indikator operasioanl ini dijabarkan lebih lanjut dalam serangkaian instrumen yang dapat dikuantifikasikan. Oleh karena itu pendekatan positivis ini seringkali juga dikenal sebagai paradigma kuantitatif karena semua datanya perlu ditransfer dalam bentuk angka yang dapat dihitung.

2. Teori Kebenaran Pascapositivistik
Menurut Eichelberger (1989:2) tabir positivis itu telah mulai dikuak oleh kaum Sufi yang berpendapat bahwa : “ Apa yang benar untukmu, adalah untukmu; dan apa yang benar untukku adalah untukku.” Sejalan dengan pendapat para Sufi tersebut Francis Bacon (1561-1626) dan John Locke (1632-1704) mengembangkan pemikiran bahwa informasi empirik yang kita peroleh dari dunia sekitar kita adalah hal yang paling penting untuk membangun pengetahuan. Jadi sejak lk. 300 tahun yang lalu telah terjadi perkembangan dalam membangun pengetahuan atau memperoleh kebenaran. Salah satu paradigma baru dalam memperoleh kebenaran tersebut dipelopori oleh seorang matematikawan Jerman, Edmund Husserl (1859-1938), dengan pendekatan falsafi yang disebutnya fenomenologi (Eichelberger,1989:5; Creswell, 1998:52).
Dengan pendekatan ini maka penelitian perlu mengungkap makna yang sesungguhnya dari pengalaman dengan menggali unsur-unsur dasar pengalaman yang dimiliki oleh sekelompok anggota masysrakat tertentu, atau bahkan seluruh kelompok manusia. Pendekatan fenomenologisk ini boleh dikatakan merupakan awal dari tumbuhnya paradigma pascaposivistik. Paradigma ini banyak digunakan dan dikembangkan oleh para sosiolog dan antropolog, kemudian diikuti oleh mereka yang berkecimpung dalam penelitian ilmu sosial lain, terutama yang berhubungan langsung dengan manusia.

3. Teori Kebenaran Hermenetik
Kecuali pendekatan fenomenologik juga tumbuh pendekatan hermenetik (hermeneutic) yaitu pendekatan penafsiaran atas naskah yang dilandasi oleh prasangka dan pemahaman awal (prior knowledge) mengenai suatu peristiwa atau situasi. Pendekatan hermenetik ini pada awalnya banyak digunakan oleh pada agamawan, sejarawan dan ahli hukum. Mereka ini menafsirkan apa yang ada dalam naskah (kitab suci, artefak atau kitab undang-undang) sesuai masalah yang dihadapinya dengan membangun argumentasi sendiri.
Dalam paradigma ini suatu kebenaran ilmiah tidak dimulai dengan adanya sejumlah teori yang mendasari, namun secara induktif mengakumulasikan pengalaman khusus menjadi umum, atau yang konkrit menjadi abstrak, dan bahkan kemudian bahkan mengukuhkan pengalaman itu menjadi teori (teori membumi = grounded theory) yang bersifat holistik (meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan pengalaman yang bersangkutan). Kebenaran ilmiah menurut paradigma ini tidak bersifat nomotetik melainkan bersifat ideografik, yaitu mengungkap secara naratif dengan memberikan uraian rinci mengenai hakekat suatu obyek atau konsep. Kebenaran itu juga bersifat unik dan hanya dapat ditransfer bila kondisi dan situasinya sama atau tidak berbeda. Kebenaran ini sarat dengan nilai (value loaded).
Paradigma hermenetik, meskipun dapat dikatakan satu kategori dengan paradigma fenomenologik, mempunyai sejumlah ketentuan yang berbeda. Kebenaran ilmiah dalam paradigma ini tidak analitik maupun holistik, melainkan sinektik yaitu memadukan pendapat yang berlawanan (tesis dan antitesis). Kebenaran dinyatakan dalam bentuk interpretatik, yaitu penafsiran yang didasarkan pada keyakinan tertentu. Pendekatan yang dilakukan tidak berupa deduktif atau induktif, melainkan sinkretik, yaitu menggunakan berbagai pandangan dan praktek.
Seorang pengacara dalam membela kliennya, tidak hanya menafsirkan hukum dari aspek legal saja (secara deduktif merinci pasal dalam perundangan), atau bertolak dari pengalaman saja (secara induktif membangun kesimpulan dari kasus), melainkan berusaha memasukkan aspek moral, sosial dan politik, hingga diharapkan dapat menjadi suatu keputusan jurisprudensi tersendiri. Data dan informasi yang dikumpulkan tidak dari latar laboratorik maupun empirik, melainkan dengan cara empatik yaitu data yang diperoleh dengan membangun kepedulian dengan adanya getaran yang bermakna.
Kebenaran diperoleh melalui penafsiran yang tidak memihak, meskipun dilandasi oleh prasangka dan adanya pengetahuan awal. Setiap pengacara akan bertolak dari azas praduga tidak berrsalah sebagai suatu kebenaran. Dia berlindung dibalik azas ini tanpa “kelihatan” memihak kepada klien yang dibelanya.. Kebenaran yang diusahakan adalah kebenaran yang dapat diterima oleh mereka yang berkepentingan. Kebenaran ini tidak bersifat bebas nilai.



1. Kebebasan akademik merupakan kebebasan yang dimiliki oleh anggota sivitas akademika untuk melaksanakan kegiatan yang terkait dengan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggungjawab dan mandiri.
2. Kebebasan akademik muncul sebagai sebuah perlawanan terhadap paham “ faith-over-reason “ yang gotol disodorkan oleh kaum gerejawan sehingga sering kali bertentangan dengan para ilmuan. Ilmuan menginginkan adanya kebebasan akademik tanpa adanya intervensi absolut terhadap tradisi keilmuan yang seharusnya ilmiah berdasarkan pengalaman empirik.
3. Pelaksanaan kebebasan akademik yang biasanya diwakili oleh kaum intelektual perguruan tinggi ( Mahasiswa.red), dijalankan sesuai dengan undang-undang yang ada dan tidak dibenarkan jika melanggar norma-norma kemanusiaan yang berlaku.
4. Kebenaran ilmiah berarti sesuatu yang dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan kaidah keilmuan atau metode ilmiah.
5. Fungsi dari kebenaran ilmiah adalah : deskriptif, prediktif, dan pengendalian berkenaan dengan dengan gejala-gejala yang ada dalam dunia pengalaman manusia. Sedangkan karakteristiknya meliputi : (a) sistematisasi; (b) keumuman; (c) rasionalitas; (d) objektivita; (e) verifiabilitas; dan (f) komunalitas.
6. Macam-macam teori kebenaran ilmiah yaitu : Kebenaran Positivistik, Kebenaran Pascapositivistik dan Kebenaran Hermeneutika.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar