Kamis, 18 Maret 2010

Akademik dan ilmiah


Kebebasan Akademik dan Kebenaran Ilmiah
Latar Belakang
Salah satu keunggulan akademis bila dibandingkan dengan komunitas lain adalah ketajaman analisisnya terhadap setiap masalah yang dihadapinya sebagai konsekuensi dari kecanggihan intelektualnya. Namun salah satu aspek yang sering dikritisi pada perilaku kelompok ini adalah dominasi intelektualnya yang sering kali menyebabkan hati nuraninya kurang berbunyi, perasaannya mengalami erosi dan bahkan sering kali mendewakan rasionalitasnya. Sebagai akibat dari munculnya kebebasan akademik yang kebablasan, yang tanpa dibatasi dengan aturan-aturan serta penghargaan yang cukup terhadap etika dan moral. Oleh karenanya permahaman tentang hakekat “ kebebasan akademik” itu sendiri perlu diluruskan.
Disamping persoalan tentang “ kebebasan akademik ” ternyata perbincangan mengenai “kebenaran ilmiah” pun tak kalah pentingnya untuk dibahas. Mengingat dasar pembahasan utama dalam Filsafat Ilmu adalah keilmuan yang notabene-nya berkaitan dengan segala hal yang berbau ilmiah. Kebenaran ilmiah sebagai entitas struktur komponen ilmu pendidikan, dimana hakekat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut paut dengan tujuan, latar belakang, cara dan hasilnya akan dipraktekan berdasarkan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaaannya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah-masalah sebagai berikut :
1. Apa definisi kebebasan akademik?
2. Bagaimana sejarah kebebasan akademik itu?
3. Bagaimana pelaksanaan kebebasan akademik tersebut?
4. Apa definisi kebenaran ilmiah itu?
5. Apa karakteristik dan fungsi kebenaran ilmiah ?
6. Bagaimana teori kebenaran ilmiah itu?
Tujuan Penulisan
Merujuk pada rumusan masalah di atas penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui hakekat kebebasan akademik dan kebenaran ilmiah, memahami bagaimana sejarah kebebasan akademik dan pelaksanaannya, mengetahui karakteristik dan fungsi serta teori kebenaran ilmiah.
Definisi Kebebasan Akademik
Menurut PP No. 60 Tahun 1999, kebebasan akademik merupakan kebebasan yang dimiliki oleh anggota sivitas akademika untuk melaksanakan kegiatan yang terkait dengan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggungjawab dan mandiri.Menurut Arthur Lovejoy yang dikutip oleh Haryasetyaka (2004), kebebasan akademik adalah kebebasan seseorang atau seorang peneliti di lembaga i1mu pengetahuan untuk mengkaji persoalan serta mengutarakan kesimpulannya baik melalui penerbitan atau perkuliahan tanpa campur tangan dari penguasa politik atau keagamaan atau lembaga yang mempekerjakannya kecuali apabila metode yang digunakannya tidak memadai atau bertentangan dengan etika professional atau lembaga yang berwenang dalam bidang keilmuannya.Menurut Nymeyer (1956) kebebasan akademik adalah kebebasan anggota fakultas untuk mengajar pada suatu sekolah dengan pikirannya sendiri dan mempromosikan spekulasi dan kesimpulan yang dibuat secara independen atau bebas dari apa yang mungkin dikehendaki institusi.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kebebasan akademik dilaksanakan olch lembaga ilmu pengetahuan. Jika kedua definisi tersebut digabung maka lembaga pelaksana kebebasan akademik adalah Perguruan Tinggi. Kebebasan akademik yang dilaksanakan oleh sivitas akademik tidak bersifat mutlak atau absolut. Kebebasan tersebut harus memperhatikan etika professional, etika yang berlaku dalam masyarakat. Jika kita mengacu kepada UU No. 39 Talum 1999 tentang HAM, maka kebebasan akademik tidak dibenarkan bertentangan dengan nilai-nilai agama, kesusilaan, keterbitan, kepentingan umum dan keutuhan bangsa. Pelaksanaan kebebasan akademik dapat dilakukan melalui berbagai media seperti melalui media cetak, media elektronik, tatap muka atau bentuk media lainnya. Kebebasan akademik harus dipahami sebagai seperangkat hak dan kewajiban dengan tetap bertanggung jawab dan akuntabel penuh kepada masyarakat. Mandiri, dapat diartikan mampu berbicara dengan bebas tentang masalah-masalah etika, budaya, sosial, ekonomi dan lain-lain secara mandiri. Sedangkan menurut Prof. Dr .Abdullah Ali M.Sc. kebebasan akademik sebagai bagian dari kebebasan yang bertanggung jawab yang tidak terpisahkan dari kebebasan setiap warga Negara.
Sejarah Kebebasan Akademik
Munculnya tuntutan untuk mendapatkan hak kebebasan akademik harus dipahami dalam konteks kesejarahan, yaitu dalam abad pertengahan, tatkala gereja merupakan pusat wewenang dan wibawa untuk mendalami berbagai masalah yang berkaitan dengan upaya mencari kebenaran filsafat dan ilmu. Pada masa itu, upaya tersebut bukan saja dilakukan dalam lingkungan gereja, melainkan juga di luar gereja, yaitu di kalangan para ilmuwan. Namun karena pada masa itu masih berlaku asas ' faith-over-reason', maka bila terjadi perbedaan pendapat antara lingkungan gereja dan kalangan ilmuwan, maka dengan sendirinya pendapat lingkungan gereja (berdasarkan faith) diunggulkan atas pendapat kalangan ilmuwan (berdasarkan reason). Keabsahan pendapat dari lingkungan gereja itu bisa diperkuat oleh melalui pernyataan secara ex cathedra (dari mimbar), yang dalam hal ini berarti dari mimbar gereja.
Selama abad pertengahan perbedaan pendapat antara kalangan gereja dan ilmuwan sering menimbulkan pertentangan yang tak terselesaikan. Perbedaan pendapat itu mungkin saja berlangsung sekedar dalam posisi kesejajaran ( juxta-position) tanpa saling berbenturan, dalam hal mana tidak terjadi sengketa dengan konsekuensi serius. Lain halnya kalau perbedaan pendapat itu terjadi dengan pengambilan posisi yang saling berlawanan (contra-position). Perkembangan ilmu yang mulai pesat menghasilkan berbagai temuan dan pernyataan pendapat tidak selalu sejalan dengan pandangan kalangan gereja. Makin lama makin banyak terjadi benturan antara hasil perenungan dalam lingkungan gereja dan pemikiran di kalangan ilmuwan. Seiring dengan perkembangan tersebut, masyarakat ilmuwan makin berhasrat untuk membedakan diri dari lingkungan gereja sejauh kegiatannya bersangkutan dengan ikhtiar mencari kebenaran ilmiah (Scientific truth) melalui penalaran (resasoning). Dalam ikhtiar tersebut perlu pertama-tama dibedakan antara pandangan yang berorientasi pada dalil-dalil keimanan di satu pihak dan pendekatan yang berdasarkan pada pengamatan dan penalaran. Demikianlah diterimanya sesuatu kebenaran bisa merupakan konsekuensi tindakan keimanan (act ofraith). dan bisa juga sebagai konsekuensi tindakan penalaran (act of reason). Perkembangan ini merintis diterimanya kesepakatan, bahwa di samping adanya kebenaran yang diterima berdasarkan keimanan, juga ada kebenaran yang diterima melalui penalaran. Faith dan reason tidak perlu satu terhadap lainnya saling ditempatkan apirori pada posisi saling bertentangan, apalagi dalam perbandingan superior-inferior. Demikianlah tidak tertutup kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat antara lingkungan gereja dan kalangan ilmuwan tanpa ada keharusan untuk secara apriori mengunggulkan posisi yang satu terhadap lainnya.
Pelaksanaan Kebebasan Akademik
Setiap institusi pendidikan pada hakekatnya adalah pusat kegiatan transfer dan transmisi ilmu pengetahuan antar akademisi. Interaksi, transfer, dan transmisi ilmu pengetahuan tersebut melibatkan struktur, sarana, prasarana, metodologi dan pengelola, hingga institusi-institusi tersebut pada gilirannya akan menjelma menjadi sebuah mesin ilmu pengetahuan. Turbin proses ilmu pengetahuan tersebut pada akhirnya memunculkan konkritisasi-nya di tengah masyarakat melalui berbagai kegiatan pengembangan masyarakat, yang tidak menutup kemungkinan pada perkembangan selanjutnya akan memunculkan permasalahan-permasalahan, terkait dengan peran dan fungsi akademisi selaku pengemban moral keilmuan yang objektif dan ilmiah. Salah satu karakter utama akademisi adalah komitmennya terhadap proyek rekonstruksi atau rethingking segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat dan peradaban, terutama apabila kondisinya sudah kurang menguntungkan bagi kemanusiaan. Untuk itu, mereka senantiasa akrab dengan change, dan memang mereka sendiri yang bergerak sebagai agen-nya. Akan tetapi pada saat yang sama para akademisi juga terlalu sadar bahwa mereka sedang berada dalam masa transisi yang harus hidup dalam kejujuran, keintelektualan, keyakinan dan kekritisan.
Salah satu perkara yang dianggap urgen dalam hal ini adalah bagaimana seharusnya kebebasan akademik itu dijalankan di lembaga ilmu pengetahuan ( baca : dalam hal ini diwakili oleh Perguruan Tinggi ) oleh civitas akademika. Kebebasan akademik yang dilaksanakan oleh civitas akademika tidaklah mutlak dan absolut. Kebebasan tersebut haruslah memperhatikan etika professional, etika yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kebebasan akademik tidak akan dibenarkan jika bertentangan dengan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa. Pelaksanaannya dapat dilakukan melalui berbagai media massa, tatap muka dan lain sebagainya. Yang terpenting adalah kebebasan akademik harus dipahami sebagai seperangkat hak dan kewajiban dengan tetap bertanggung jawab penuh kepada masyarakat.
Ada 3 konsep pelaksanaan kebebasan akademik. Pertama, sebagai peneliti dosen harus bebas. Kedua, sebagai pemikir asli dosen harus bebas tanpa mematuhi ( terikat dan kaku ) hal-hal yang berlaku di masa lalu. Ketiga, sebagai penyebar gagasan kedua, setelah sebelumnya ada orang lain yang mengemukakannya, dosen dalam beberapa hal mungkin bebas, namun dalam beberapa hal lainnya mungkin tidak bebas.
Kebebasan akademik terdiri dari proteksi terhadap independensi intelektual profesor, peneliti dan mahasiswa dalam mencari/menggali pengetahuan dan mengekspresikan gagasan-gagasan yang bebas dari turut campur legislator atau pihak yang berwenang dalam instutisinya sendiri. Ini berarti tidak ada kekolotan politik, ideologi atau agama yang dibebankan kepada professor, peneliti dan mahasiswa melalui berbagai cara. Pimpinan juga tidak memasukkan kekolotan tersebut melalul pengontrolan budget universitas. Dalam kondisi tertentu, kebebasan akademik bagi dosen atau sebagai pengajar (untuk membedakan dosen sebagai peneliti dan pemikir asli) diperlukan, tanpa harus memperhatikan apa yang orangtua atau mahasiswa inginkan. Hal ini biasanya berlaku pada sekolah ( lembaga pendidikan ) Negeri. Di sisi lain mahasiswa bebas belajar, mengambil, mengikuti pandangan yang disampaikan dalam perkuliahan dan bebas menilai materi yang diberikan tersebut. Mereka mendapat perlakuan yang sama dalam pembelajaran serta tidak boleh dipaksa dalam kelas maupun di lingkungan akademik untuk menerima pendapat atau gagasan tentang filosofi, politik dan isu-isu lain, merupakan bagian dari pelaksanaan kebebasan akademik.
1. Model Pelaksanaan Kebebasan Akademik di Perguruan Tinggi
Dalam institusi akademik, suatu organisasi yang sehat dicirikan oleh kemampuannya menumbuhkembangkan kebebasan akademik, tingginya tingkat inovasi dan kreativitas, pemberdayaan individu untuk saling bertukar pengetahuan untuk membangun keberhasilan organisasi. Aktifitas kebebasan akademik di Perguruan Tinggi adalah di tingkat peer group di bawah koordinasi komisi guru besar. Tuntutan dari peer group naik ke komisi guru besar. Pada komisi guru besar, tuntutan ini dikonversikan menjadi rancangan keputusan dan kebijakan. Dalam merumuskan rancangan ini komisi guru besar berkoordinasi dengan PR, LP dan LPM. Rancangan yang sudah matang lalu dibawa ke rapat senat universitas. Kemudian keputusan dan kebijakan tersebut ditetapkan oleh rektor setelah digodok dalam rapat senat. Hasilnya disampaikan ke peer group untuk dilaksanakan. Lembaga (perguruan tinggi) hendakuya menjamin bahwa semua anggota komunitas akademik yang sibuk meneliti diberikan pelatihan yang tepat, sumber daya dan dukungan yang dibutuhkan. Hak-hak intelektual dan budaya penggunaan hasil-hasil penelitian hendaklah digunakan bagi kemaslahatan umat manusia dan dilindungi sehingga tidak sampai disalahgunakan. Lembaga seharusnya meningkatkan penelitian di semua bidang ilmu, memajukan pengetahuan melalui penelitian, dan mendidik mahasiswa menjadi sarjana yang kritis dalam menganalisis masalah masyarakat.
2. Manfaat Kebebasan Akademik
Kebebasan akademik mempunyai manfaat antara lain, yaitu :
a. Mempercepat transfer dan perkembangan iptek.
b. Membantu memecahkan dan menjawab problema di masyarakat.
c. Membantu masyarakat berpikir, memahami dan bertindak yang pada gilirannya mampu mendorong kearah kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
d. Kebebasan akademik akam melahirkan masyarakat beradab. Dimana nilai-nilai kemanusiaan mendapat tempat tertinggi, subjektivitas individu diakui, setiap individu menyadari tanggungjawabnya terhadap diri dan masyarakat, dengan hukum sebagai sumber aturannya dan kepentingan bersama adalah tujuannya.
e. Mendorong dan mempercepat pelaksanaan demokrasi di masyarakat. Demokrasi mendambakan generasi-generasi kritis, rasional, antiabsolutisme yang menghargai prularisme individu dengan dialog sebagai jalan kompromi.
f. Menumbuhdewasakan kadar intelektual, emosional dan spiritual manusia.
g. Menjaga nilai-nilai masyarakat dan kebenaran universal.
h. Menumbuhkembangkan kepeloporan dan keteladanan dari para cendekiawan, sehingga erosi moral dapat diatasi.
i. Menghasilkan para sarjana sebagai pencipta kerja bukannya pencari kerja.
j. Menumbuhkan perubahan dan pembaharuan yang sangat radikal di masyarakat.
k. Sarana bagi pengembangan masyarakat yang berbasis iptek. Karenanya pe mbelajaran dan penelitian menjadi komponen penting dari pembangunan berkelanjutan dari kebudayaan, sosial ekonomi dan lingkungan masyarakat dan bangsa.
D. Definisi Kebenaran Ilmiah
Kebenaran adalah keadaan yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya. Ilmiah adalah keilmuan; ilmu pengetahuan; sains. Kebenaran ilmiah berarti sesuatu yang dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan kaidah keilmuan atau metode ilmiah.
Fungsi dan Karakteristik Kebenaran Ilmiah
Semua kebenaran bermanfaat bagi manusia demikian juga dengan kebenaran ilmiah. Fungsi dari kebenaran ilmiah adalah : deskriptif, prediktif, dan pengendalian berkenaan dengan dengan gejala-gejala yang ada dalam dunia pengalaman manusia.Fungsi deskriptif menunjuk pada keharusan ilmu untuk bisa memberikan penjelasan secara rinci, lengkap, dan runtut mengenai berbagai hal yang menjadi perhatian manusia. Penjelasan tersebut bisa bersifat deskriptif, preskriptif, eksposisi pola, maupun rekonstruksi historis.
Bila gejala-gejala yang ada di alam semesta dapat dijelaskan, maka selanjutnya dapat dilakukan prediksi atau membuat perkiraan-perkiraan tentang apa yang akan terjadi kemudian. Inilah fungsi kedua dari ilmu, yaitu fungsi prediktif. Atas dasar hasil prediksi, selanjutnya dapat dilakukan pengendalian, yaitu mencegah agar gejala-gejala yang tidak diinginkan tidak terjadi serta mendorong agar terjadi gejala-gejala yang dikehendaki.
Telah dipaparkan di atas bahwa dengan pendekatan ilmiah diperoleh pengetahuan ilmiah atau ilmu. Ilmu dapat dipahami sebagai proses, prosedur, dan produk (The Liang Gie, 2004: 90). Pembahasan berikut ini ditekankan pada makna ilmu sebagai produk. Sebagai produk ilmu tidak lain adalah pengetahuan atau kebenaran ilmiah yang memiliki karakteristik, yaitu : (a) sistematisasi; (b) keumuman; (c) rasionalitas; (d) objektivitas; (e) verifiabilitas; dan (f) komunalitas.
Pengetahuan dapat digolongkan sebagai ilmu bila pengetahuan tersebut tersusun secara sistematis. Dan apa yang tersusun secara sistematis sebagai suatu kesatuan tersebut haruslah memiliki sifat keumuman (generality), artinya bahwa kebenaran yang terkandung didalamnya harus dapat berlaku secara umum atau luas jangkauannya.Ciri rasionalitas mengandung makna bahwa kebenaran ilmiah bersumber pada pemikiran rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika. Sedangkan ciri objektivitas menunjuk pada kesesuaian antara hal-hal yang rasional dengan realitas. Ciri verifiabilitas mempunyai arti bahwa kebenaran ilmiah harus dapat diperiksa kebenarannya, diuji ulang oleh setiap anggota masyarakat ilmuwan. Hal ini menunjuk bahwa kebenaran ilmiah tidak bersifat mutlak atau final. Adapun ciri terakhir dari kebenaran ilmiah yaitu komunalitas memiliki arti bahwa kebenaran ilmiah itu merupakan pengetahuan yang menjadi milik umum. Sedangkan Menurut Sonny Keraf A. dan Mikhael Dua (2001: 75), bahwasanya karakteristik kebenaran ilmiah mempunyai sekurang-kurangnya tiga sifat dasar, yaitu : rasional-logis, isi empiris, dan dapat diterapkan (pragmatis). Hal itu berarti bahwa kebenaran ilmiah yang logis dan impiris itu pada akhirnya dapat diterapkan dan digunakan bagi kehidupan manusia.
Teori Kebenaran Ilmiah
1. Kebenaran Positivistik
Kebenaran ilmiah itu bersifat universal, obyektif, dan bebas nilai. Untuk memperoleh kebenaran itu perlu dilakukan pendekatan deduktif, yaitu dengan bertolak dari hal yang bersifat umum dan abstrak ke arah yang khusus dan konkrit, serta didasarkan pada teori-teori tertentu dengan prosedur yang baku. Untuk digunakan piranti (tools) yang bersifat nomotetik yaitu yang abstrak dan berlaku universal berupa angka-angka matematis atau lazim dikenal dengan statistik. Tradisi ini dikenal sebagai paradigma positivis, dengan landasan berpikir : “kalau sesuatu itu ada, maka sesuatu itu mengandung besaran yang dapat diukur.” (Eichelberger,h.4).
Para positivis berpendapat bahwa peneliti adalah pengamat obyektif atas peristiwa yang ada di alam semesta, dimana peneliti tersebut tidak mempunyai pengaruh atau dampak terhadap peristiwa tersebut. Para penganut positivis yang setia memandang pengetahuan sebagai pernyataan mengenai keyakinan atau fakta yang dapat diuji secara empirik, dapat dikonfirmasi atau dapat ditolak. Variabel mengenai ciri manusia, seperti misalnya kemampuan berbahasa, dapat dinyatakan dalam bentuk istilah fisik yang dapat dihitung sebagaimana halnya dalam ilmu alam. Kemampuan membaca misalnya ditunjukkan dengan indikator perbendaharaan kata, gramatika, ejaan, dan pemahaman. Indikator ini kemudian dijabarkan secara kuantitatif dalam serangkaian instrumen yang hasilnya dapat dinyatakan dengan angka. Demikian pula motivasi belajar misalnya dijabarkan dalam indikator operasional keinginan, ketekunan, usaha, persaingan dsb. Indikator operasioanl ini dijabarkan lebih lanjut dalam serangkaian instrumen yang dapat dikuantifikasikan. Oleh karena itu pendekatan positivis ini seringkali juga dikenal sebagai paradigma kuantitatif karena semua datanya perlu ditransfer dalam bentuk angka yang dapat dihitung.

2. Teori Kebenaran Pascapositivistik
Menurut Eichelberger (1989:2) tabir positivis itu telah mulai dikuak oleh kaum Sufi yang berpendapat bahwa : “ Apa yang benar untukmu, adalah untukmu; dan apa yang benar untukku adalah untukku.” Sejalan dengan pendapat para Sufi tersebut Francis Bacon (1561-1626) dan John Locke (1632-1704) mengembangkan pemikiran bahwa informasi empirik yang kita peroleh dari dunia sekitar kita adalah hal yang paling penting untuk membangun pengetahuan. Jadi sejak lk. 300 tahun yang lalu telah terjadi perkembangan dalam membangun pengetahuan atau memperoleh kebenaran. Salah satu paradigma baru dalam memperoleh kebenaran tersebut dipelopori oleh seorang matematikawan Jerman, Edmund Husserl (1859-1938), dengan pendekatan falsafi yang disebutnya fenomenologi (Eichelberger,1989:5; Creswell, 1998:52).
Dengan pendekatan ini maka penelitian perlu mengungkap makna yang sesungguhnya dari pengalaman dengan menggali unsur-unsur dasar pengalaman yang dimiliki oleh sekelompok anggota masysrakat tertentu, atau bahkan seluruh kelompok manusia. Pendekatan fenomenologisk ini boleh dikatakan merupakan awal dari tumbuhnya paradigma pascaposivistik. Paradigma ini banyak digunakan dan dikembangkan oleh para sosiolog dan antropolog, kemudian diikuti oleh mereka yang berkecimpung dalam penelitian ilmu sosial lain, terutama yang berhubungan langsung dengan manusia.

3. Teori Kebenaran Hermenetik
Kecuali pendekatan fenomenologik juga tumbuh pendekatan hermenetik (hermeneutic) yaitu pendekatan penafsiaran atas naskah yang dilandasi oleh prasangka dan pemahaman awal (prior knowledge) mengenai suatu peristiwa atau situasi. Pendekatan hermenetik ini pada awalnya banyak digunakan oleh pada agamawan, sejarawan dan ahli hukum. Mereka ini menafsirkan apa yang ada dalam naskah (kitab suci, artefak atau kitab undang-undang) sesuai masalah yang dihadapinya dengan membangun argumentasi sendiri.
Dalam paradigma ini suatu kebenaran ilmiah tidak dimulai dengan adanya sejumlah teori yang mendasari, namun secara induktif mengakumulasikan pengalaman khusus menjadi umum, atau yang konkrit menjadi abstrak, dan bahkan kemudian bahkan mengukuhkan pengalaman itu menjadi teori (teori membumi = grounded theory) yang bersifat holistik (meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan pengalaman yang bersangkutan). Kebenaran ilmiah menurut paradigma ini tidak bersifat nomotetik melainkan bersifat ideografik, yaitu mengungkap secara naratif dengan memberikan uraian rinci mengenai hakekat suatu obyek atau konsep. Kebenaran itu juga bersifat unik dan hanya dapat ditransfer bila kondisi dan situasinya sama atau tidak berbeda. Kebenaran ini sarat dengan nilai (value loaded).
Paradigma hermenetik, meskipun dapat dikatakan satu kategori dengan paradigma fenomenologik, mempunyai sejumlah ketentuan yang berbeda. Kebenaran ilmiah dalam paradigma ini tidak analitik maupun holistik, melainkan sinektik yaitu memadukan pendapat yang berlawanan (tesis dan antitesis). Kebenaran dinyatakan dalam bentuk interpretatik, yaitu penafsiran yang didasarkan pada keyakinan tertentu. Pendekatan yang dilakukan tidak berupa deduktif atau induktif, melainkan sinkretik, yaitu menggunakan berbagai pandangan dan praktek.
Seorang pengacara dalam membela kliennya, tidak hanya menafsirkan hukum dari aspek legal saja (secara deduktif merinci pasal dalam perundangan), atau bertolak dari pengalaman saja (secara induktif membangun kesimpulan dari kasus), melainkan berusaha memasukkan aspek moral, sosial dan politik, hingga diharapkan dapat menjadi suatu keputusan jurisprudensi tersendiri. Data dan informasi yang dikumpulkan tidak dari latar laboratorik maupun empirik, melainkan dengan cara empatik yaitu data yang diperoleh dengan membangun kepedulian dengan adanya getaran yang bermakna.
Kebenaran diperoleh melalui penafsiran yang tidak memihak, meskipun dilandasi oleh prasangka dan adanya pengetahuan awal. Setiap pengacara akan bertolak dari azas praduga tidak berrsalah sebagai suatu kebenaran. Dia berlindung dibalik azas ini tanpa “kelihatan” memihak kepada klien yang dibelanya.. Kebenaran yang diusahakan adalah kebenaran yang dapat diterima oleh mereka yang berkepentingan. Kebenaran ini tidak bersifat bebas nilai.



1. Kebebasan akademik merupakan kebebasan yang dimiliki oleh anggota sivitas akademika untuk melaksanakan kegiatan yang terkait dengan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggungjawab dan mandiri.
2. Kebebasan akademik muncul sebagai sebuah perlawanan terhadap paham “ faith-over-reason “ yang gotol disodorkan oleh kaum gerejawan sehingga sering kali bertentangan dengan para ilmuan. Ilmuan menginginkan adanya kebebasan akademik tanpa adanya intervensi absolut terhadap tradisi keilmuan yang seharusnya ilmiah berdasarkan pengalaman empirik.
3. Pelaksanaan kebebasan akademik yang biasanya diwakili oleh kaum intelektual perguruan tinggi ( Mahasiswa.red), dijalankan sesuai dengan undang-undang yang ada dan tidak dibenarkan jika melanggar norma-norma kemanusiaan yang berlaku.
4. Kebenaran ilmiah berarti sesuatu yang dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan kaidah keilmuan atau metode ilmiah.
5. Fungsi dari kebenaran ilmiah adalah : deskriptif, prediktif, dan pengendalian berkenaan dengan dengan gejala-gejala yang ada dalam dunia pengalaman manusia. Sedangkan karakteristiknya meliputi : (a) sistematisasi; (b) keumuman; (c) rasionalitas; (d) objektivita; (e) verifiabilitas; dan (f) komunalitas.
6. Macam-macam teori kebenaran ilmiah yaitu : Kebenaran Positivistik, Kebenaran Pascapositivistik dan Kebenaran Hermeneutika.





Ayat-Ayat Nikah

Tafsir Tematik :Ayat –Ayat Nikah ( Hakekat, Tujuan dan Hikmahnya )
Oleh : Choirotul Ula*

Latar Belakang

Pernikahan merupakan sebuah fitroh manusia. Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan untuk saling membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lain. Sebagai makhluk sosial manusia secara praktis tidak dapat hidup sendiri. Secara biologis, manusia berkebutuhan untuk menyalurkan hasrat yang sudah menjadi fitrah basyariyah-nya. Oleh karenanya, Islam memberikan anjuran untuk menikah sebagai suatu sunnah dan sebagai sarana untuk mendapatkan ketentraman lahir dan batin. Selain itu, kebutuhan biologis manusia juga dapat terpenuhi secara halal, sah dan mendatangkan berkah melalui pernikahan.
Pernikahan memang perkara yang sakral. Karenanya menikah bukanlah sekedar mencari tempat untuk bersenang-senang. Melainkan sebuah ikatan suci yang harus dijaga dan merupakan janji yang agung. Meski Al Qur’an menyebut pernikahan sebagai “mitsaqan ghalidhan”, pernikahan tidaklah seberat yang para rahib_ pendeta_ pikirkan, tetapi bukan pula sekedar penghalalan ‘koitus’ antar laki-laki dan perempuan saja.
Islam memberikan jalan keluar akan kesulitan-kesulitan yang dihadapi pemeluknya. Jika hasrat biologis manusia mulai meminta untuk dipenuhi, menikah adalah solusinya. Islam tidak mengharuskan pemeluknya untuk membujang. Bahkan “membujang” adalah perkara yang di-makruh-kan.
Legalisasi hubungan antara laki-laki dan perempuan melalui pernikahan merupakan jalan yang disyari’atkan. Islam melarang perzinaan. Sebab zina adalah jalan yang salah dan sesat. Di samping itu, pelarangan zina merupakan representasi dari maqasidus syari’ah yakni “hifdzun nasl”.

Rumusan Masalah
Berawal dari latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Apa pengertian nikah itu?
2. Apa saja ayat-ayat Al Qur’an yang membahas tentang pernikahan?
3. Bagaimana hukum pernikahan itu?
4. Apa tujuan dan hikmah pernikahan?

Tujuan Penulisan
Betolak dari rumusan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian nikah, memahami ayat-ayat yang membahas tentang pernikahan, serta mengetahui hukum, tujuan dan hikmah pernikahan itu sendiri.

Metode Penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan metode tematik, dengan mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an yang bertema sama, kemudian menyusunnya dalam sebuah kajian tafsir maudhui. Dengan menguraikan isi kandungan ayat-ayat tersebut untuk mengambil kesimpulan atas pesan yang disampaikan. Kemudian mengumpulkan data sekaligus menguraikan apa yang terdapat dalam disiplin ilmu al Qur’an seperti asbabun nuzul, munasabah, qira’at, muhkam mutasyabihnya dan lain sebagainya. Setelahnya baru menarik kesimpulan dari ayat-ayat yang ditafsiri tersebut untuk menjawab permasalahan.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah
Term “ nikah” berasal dari bahasa Arab “ nakaha-yankihu-nakhan” yang artinya mengumpulkan, diartikan bersetubuh. Di dalam Al Qur’an term ini disebutkan beberapa kali, adapun ayat-ayat Al Qur’an yang secara khusus membicarakan tentang “ anjuran menikah “ terdapat dalam 4 ayat yang terangkum dalam 3 surat yakni : ( 4;3 ), ( 24;3,32 ) dan ( 30;21 ).
Ulama Syafi’iyah memberikan pengertian bahwa nikah adalah :
عقد يتظمن اباحة وطء بلفظ انكاح اوتزويج
“Nikah adalah akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafadz na-ka-ha atau za-wa-ja” ( Al Mahally: 206 )
Ulama-ulama terdahulu lainnya sebagaimana ulama syafi’iyah memberikan definisi yang begitu pendek dan sederhana. Mereka hanya mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan, yaitu kebolehan melakukan “koitus “ setelah berlangsungnya perkawinan itu. Akan tetapi ulama kontemporer memperluas jangkauan definisi yang disebutkan ulama terdahulu. Diantaranya adalah yang diungkapkan oleh Dr. Ahmad Ghandur dalam bukunya Al Ahwal Al Syakhsiyah fi Tasyri’il Islamy, pernikahan adalah : Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban.
Dari pemaparan beberapa definisi yang diungkapkan oleh ulama-ulama terdahulu maupun ulama kontemporer menemui titik persamaan dan adanya sedikit perbedaan. Jika ulama klasik mendefinikan nikah sebatas akad yang membolehkan “ koitus” antara laki-laki dan perempuan secara sah. Maka ulama kontemporer memperluas pengertian tersebut menjadi sebuah akad yang berupa perbuatan hukum dan akan menimbulkan akibat hukum yang mengikat pelakunya. Termasuk akibat hukumnya adalah munculnya hak dan kewajiban suami istri.

B. Kajian Ayat-Ayat Bertema Nikah
Di dalam al Qur’an banyak ayat-ayat yang bertemakan pernikahan. Dalam kajian tafsir maudhui ini dibatasi pada ayat-ayat bertemakan pengertian dan anjuran nikah. Oleh sebab itu, ayat-ayat nikah yang disebutkan dalam makalah ini hanyalah ayat yang mengenai anjuran nikah, bukan prosedur maupun larangan-larangannya. Adapun ayat-ayatnya adalah :
Ayat pertama, menerangkan dan menguraikan tentang perkembangbiakan manusia serta bukti kuasa dan rahmat Allah swt. yakni QS Ar Ruum: 21 :
            ••   •      

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”( QS Ar Ruum : 21 )
Ayat ini melanjutkan pembuktian yang lalu dengan menyatakan bahwa :”Dan juga diantara tanda-tanda kekuasaanNya adalah Dia menciptakan untuk kamu secara khusus pasangan-pasangan hidup (suami atau istri ) dari jenis kamu sendiri, supaya kamu tenang dan tentram serta cenderung kepadanya, yakni kepada masing-masing pasangan itu”. Ayat 20 surat Ar Ruum menjelaskan bahwa manusia itu tersebar, dan ayat 21 memberikan gambaran dan cara bagaimana manusia tersebar, yakni dengan memperoleh anak melalui jalan pernikahan.
Perkawinan itu juga merupakan sunnah Rasul yang pernah dilakukannya selama hidupnya dan menghendaki umatnya berbuat yang sama. Hal ini terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhory dalam Shahih-nya dari Anas bin Malik bahwa Nabi sendiri melakukan shalat, tidur, berpuasa, berbuka, dan beliau mengawini perempuan juga. Maka barang siapa yang tidak senang dengan sunnahnya maka ia bukanlah termasuk dari golongannya.
Sementara ulama menterjemahkan kata ازواج pada ayat ini-diartikan sebagai istri-istri. Menurut dugaan mereka, kata ilaiha yang menggunakan bentuk kata ganti feminin menunjuk pada perempuan, dan kata lakum menunjuk pada maskulin. Sehingga ayat ini dipahami sebagai ayat yang tertuju pada laki-laki, khususnya adalah suami. Pemahaman ini kurang dirasa tepat. Kerena bentuk feminin pada kata ilaiha menunjuk pada azwaj dalam kedudukannya sebagai jamak. Sementara dalam aturan bahasa Arab adalah “ kullu jam’in muannasun”.Yang dimaksudkan adalah pasangan baik pria maupun wanita.
Pernyataan “ min anfusikum azwajan “, secara bahasa artinya adalah “ dari jenismu sendiri “. Interpretasi awal mengenai frase ini tidak lain adalah Hawa diciptakan dari Nabi Adam. Selanjutnya ulama lain menafsirkan bahwa “ min” adalah “min” yang menunjukkan arti permulaan. Sedangkan ‘ anfus’ merupakan majaz dari “ jinsi”. Sehingga pemaknaan ayat tersebut sebagaimana penafsiran kedua adalah “diciptakannya istri-istri bagi kalian dari jenismu sendiri”.
Maksud dari pernyataan “ li taskunu ‘ilaiha” adalah ketenangan dan ketentraman hati. Dimana arti asalnya menurut ar Razy adalah diam. Tetapi diam disini tidak dimaknai sebagai diam yang bersifat jasadi, sebab diam yang bersifat jasadi menggunakan term ‘sakana ‘inda’. Sedangkan yang dipakai di sini adalah “sakana ila”, yang ghayah-nya adalah hati.
Dari sini agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan pria dan wanita, serta diarahkannya pertemuan itu sedemikian rupa sehingga terlaksana apa yang dinamai ‘perkawinan’ guna mengusir keterasingan dan beralihnya kerisauan menjadi ketentraman.
Ayat keduanya adalah QS. An Nisa : 3 yang membahas tentang larangan berlaku aniaya terhadap anak yatim serta adanya anjuran menikah, yaitu :
                              
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil , Maka (kawinilah) seorang saja , atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” ( QS.An Nisa’: 3 )
Ayat ini termasuk dalam golongan ayat Madaniyah, sebab secara keseluruhan Surat An Nisa’ adalah Surat Madaniyah. Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam shahih-nya dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah R.a bahwa ada seorang lelaki yang memiliki seorang anak perempuan asuh yatim, lalu dia menikahinya. Anak yatim itu memiliki harta dan ia menahan anak itu untuk tidak nikah selain dengan dirinya,dan dia tidak mendapatkan apa-apa dari lelaki tersebut. Maka turunlah ayat ini.
Ayat ini memiliki keterkaitan secara Lafdzy (yakni lafadz al yatama) dan ma’nawy dengan ayat sebelumnya. Jika ayat sebelumnya menjelaskan tentang larangan menahan harta anak yatim dan menguasai pribadi serta hartanya. Lafadz أن لا تقسطوا فى اليتمى identik dengan perlakuan tidak adil pada ayat sebelumnya. Dan pada akhirnya ayat ini menjadi sebuah solusi atas ayat sebelumnya.
Sebagai ayat yang menghubungkan ayat ke-2 dan ke-4, penyebutan “ al yatama” dan “ nikahun nisa” menurut sebagian ulama disamakan maknanya. Sebab keduanya sama-sama memiliki sifat lemah. Pada ayat kedua, bersinggungan dengan anak yatim. Sedang pada ayat ke-4 ayat ini terkait dengan perkara mahar yang dibicarakan dalam pernikahan. Di sisi lain, jika ditinjau dari segi asbabun nuzul-nya ada seorang wali yang menikahi wanita yatim yang berada dalam ampuannya tanpa berbuat adil dalam memberikan mahar. Ayat ini dan sesudahnya memberikan solusi berumahtangga yang damai, adil terhadap istri serta adab pemberian mahar.
Ayat di atas menggunakan kata (تقسطوا) dan kata (تعدلوا) yang keduanya diterjemahkan “adil”. Ada ulama’ yang mempersamakan maknanya, ada juga yang membedakannya dengan berkata bahwa تقسطوا adalah berlaku adil antara dua orang atau lebih, keadilan yang menjadikan keduanya senang. Sedangkan تعدلوا maknanya berlaku adil baik terhadap orang lain maupun diri sendiri, tapi keadilan itu bisa saja tidak menyenangkan bagi salah satu pihak.
Firman Allah: “ Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi”. Ibnu Jarir berkata dalam tafsirnya bahwa para ahli tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkannya. Pertama, maknanya adalah jika mereka (para wali anak-anak yatim) tidak bisa berlaku adil dalam memberikan mahar dan tidak bisa memberikan mahar sebagaimana yang diberikan kepada wanita-wanita lain semisal mereka, maka janganlah menikahi mereka tapi nikahilah wanita-wanita lain selain mereka.
Kedua, menurut Abu Ja’far maknanya adalah larangan untuk menikah lebih dari empat, sebagai peringatan agar tidak terjadi pelanggaran harta anak yatim yang dirusak oleh para walinya. Alasannya orang-orang Quraisy ada yang menikah dengan sepuluh wanita ada yang lebih ada pula yang kurang. Jika kehabisan harta maka ia akan bersandar pada anak yatim yang bisa memberinya nafkah atau dia menikah dengannya, lalu menguasai hartanya.
Sementara itu, menurut para ahli Tafsir yang lain ketakutan dalam urusan harta anak yatim seyogyanya dimaknai sama dengan ketakutan untuk berbuat zina dengan wanita-wanita itu. Sehingga menikah adalah solusi atas ketakutan berbuat zina tersebut.
Menurut Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah-nya bahwa penyebutan dua, tiga atau empat pada hakikatnya bukanlah perintah atau peraturan tentang poligami. Sebab poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai agama dan telah menjadi tradisi masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Ayat ini tidak mewajibkan poligami, tidak juga menganjurkannya. Hanya saja membolehkan poligami dengan memberikan persyaratan yang tidak bisa dianggap ringan. Dengan demikian, pembahasan tentang poligami dalam Al Qur’an hendaknya tidak hanya ditinjau dari segi ideal atau baik buruknya saja, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.
“ fain khiftum an laa ta’dilu fawahidatan “, yang dimasud ‘adil’ dalam penggalan ayat ini adalah adil dalam hal nafaqah dan giliran, tetapi bukan dalam hal kecondongan hati atau cinta. Oleh karenanya, monogami akan lebih baik dari pada poligami, jika hal tersebut dapat menimbulkan ketidakadilan dan kedhaliman.
Ayat selanjutnya adalah An Nur ayat 3, yang di dalamnya mengandung penjelasan keharusan menghindari pezina dalam memilih calon istri maupun calon suami. Sebagaimana tertera dalam lafadznya, yaitu :
•       •            
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin ” ( QS.An Nur: 3 )
Ayat ini adalah bagian dari Surah An-Nur yang turun pada periode Madinah. Keadaan ini dapat difahami dari ayat-ayat yang panjang dan kandungannya berupa hukum-hukum Islam yang terperinci.
Para mufassir mengatakan bahwa QS. An-Nur: 3 turun berkenaan dengan para kaum muhajirin berangkat ke dari Makkah ke Madinah sebagian mereka adalah orang-orang fakir, dan di Madinah terdapat perempuan pezina kaya yang menjual diri mereka. Sehingga beberapa fakir muhajirin menginginkan harta mereka. Mereka berkata “Seandainya kita menikahi mereka maka Allah akan memberikan kekayaan melalui mereka”. Kemudian mereka meminta izin kepada Nabi, maka turunlah ayat ini. Dalam dalam riwayat imam Nasa’i yang berasal dari Abdullah bin Umar dikemukakan bahwa Ummul Mahzul, seorang wanita pezina, akan dikawini oleh seorang sahabat Nabi SAW. Maka turunlah ayat ini (QS. An-Nur: 3). Dari beberapa literatur yang menjelaskan tentang asbabun nuzul ayat ini, memiliki kesamaan esensi yaitu tidak pantasnya seorang yang pezina untuk menikah dengan muslim yang baik.
Setelah menjelaskan tentang hukum terhadap pezina, ayat ini (an Nur: 3) mengemukakan keharusan menghindari pezina. Kemudian pada ayat keempat Allah menjelaskan tentang keburukan dan ancaman bagi orang yang menuduh dan mencemarkan nama baik seorang wanita terhormat, karena akibat tuduhan itu ia akan dianggap sebagai orang yang memiliki aib yang hina dan akhlak buruk yang selanjutnya akan tersisihkan dari masyarakat.
Ulama berbeda pendapat tentang pengertian nikah (ينكح) pada ayat ke-3. Sebagian berkata maksud yankihu adalah hubungan badan, pendapat yang lain menyatakan bermakna akad nikah dengan alasan adanya kata musyrik dan musyrikah yang menunjukkan tidak sahnya akan nikah sebagaimana tidak sahnya menikah dengan orang musyrik (al-Baqarah: 221).
Sebagian ulama berpendapat bahwa An-Nur ayat 3 dinasakh dengan ayat 32 dari surah yang sama. Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa seseorang yang berzina boleh menikah dengan pasangan zinanya ataupun orang lain. Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa ayat ini mansukh. Sehingga jika seorang suami berzina maka nikahnya tidak batal dan begitu pula istri jika malakukan perbuatan keji ini. Akan tetapi, sebagian ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa ayat 3 tiga tidak dinaskh, dan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut tetaplah berlaku.
Adapun kandungan ayat ini adalah konsep kafaah. Kafaah dalam pengertian mudahnya adalah keadaan setara antara seorang laki-laki dengan wanita yang akan menjadi teman hidupnya. Mukafaah dapat di tinjau dari berbagai aspak; ekonomi, profesi, keturunan, agama.
Jika memperhatikan an-Nur: 3, dapat difahami bahwa kafaah yang ditekankan adalah tentang akhlak. Pezina adalah orang yang dianggap hina, maka tidak pantas orang hina berpasangan kecuali dengan orang hina pula atau dengan orang musyrik karena kemusyrikan lebih jelek daripada perzinahan.
Pencantuman kata musyrik pada ayat, bukanlah menunjukkan kebolehan pernikahan seorang muslim dengannya. Tetapi hanya serbatas penekanan akan jeleknya perzianaan. Karena itu pernikahan muslim dengan musyrik adalah keharaman yang mutlak.
Sebagian ulama berpendapat bahwa kata “as shalihina” pada ayat yang berarti orang yang taat beragama, dan ada pula yang mengartikan memiliki kemampuan untuk membangun rumah tangga secara mental dan spiritual. Jika mengambil pendapat pertama maka hal itu sesuai dengan sabda Nabi yang berkenaan dengan kriteria dalam mencari pasangan dengan memberikan standar penilaian yaitu baiknya agamanya dan juga terkait erat dengan masalah kafaah.
عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa jika ayat ini mansukh, maka tidak berlaku secara mutlak hukum yang terkandung. Artinya seseorang boleh menikah dengan orang lain baik yang taat maupun yang pezina dan tidak ada persyaratan bagi pezina hanya boleh menikah sesamanya. Pendapat lain mengatakan bahwa ayat tersebut mansukh, akan tetapi pernikahan orang taat dengan pezina hukumnya makruh.
Jika ayat tersebut berlaku maka seseorang haram menikah dengan pezina. Pezina hanya bolah menikah sesamanya dan pernikahan orang yang melakukannya hukumnya batal. Pendapat lain yang mengatakan bahwa ayat tersebut berlaku, akan tetapi hanya boleh menikahi atau dinikahi pezina yang telah bertaubat.
Dari panjelasan yang ada dapat difahami bahwa adanya ketidaksekufuan antara orang yang tidak berzina dengan orang yang melakukannya dalam pernikahan, sehingga memunculkan ketidakpantasan di antara keduanya. Baik ketidakpantasan itu hukumnya makruh ataupun haram.
Ayat berikutnya adalah An Nur ayat 32. Isinya menjelaskan tentang perintah bagi para pemilik budak atau wali untuk memelihara diri mereka dan budaknya dari perbuatan hina. Artinya perintah untuk menjaga kesucian diri dan orang lain.
                   
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian , diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” ( QS.An Nur:32 )
Dua ayat sebelum an-Nur:32 menjelaskan tentang perintah untuk laki-laki dan perempuan untuk menjaga kesucian diri dan jiwa, kemaluan, serta menutup aurat. Sedangkan pada ayat tersebut merupakan perintah bagi pemilik budak dan wali untuk menjaga budak dan yang dibawah perwalian mereka untuk menjaga ke sucian mereka juga.
Ar-Razi menjelaskan bahwa setelah perintah untuk menjaga kesucian berupa larangan dari hal-hal yang diharamkan, maka pada ayat tiga puluh dua ini Allah menjelaskan jalan yang diperbolehkan yaitu menikah. Pada ayat selanjutnya menerangkan tentang ketidakmampuan untuk menikah. Quraish Shihab dan ar-Razi dalam menjelaskan munasabah ayat sama-sama mengungkapkan bahwa nikah adalah sarana untuk mencapai kesucian, walaupun melalui ungkapan yang berbeda.
Makna “ankihu” (أنكحوا) adalah nikahkanlah karena menggunkan hamzah qath’i yang berarti perintah bukan untuk orang yang menikah. Tapi berlaku luas bagi seluruh wali atau yang memiliki laki dan perempuan (yang sudah waktunya menikah) untuk menyegerakan, mempermudah, meringankan pernikahannya.
Kata al-ayaama ( الأيامى) adalah jamak dari al-ayyamu (الأيّم) yang berarti seseorang laki-laki merdeka yang tidak mempunyai istri atau seorang perempuan merdeka yang tidak punya suami . Baik mereka sudah menikah atau belum. Dalam istilah Indonesia dikenal dengan istilah lajang. As-shalihin (الصالحين) artinya memiliki kemampuan untuk melaksanakan pernikahan dengan segala ketentuan yang ada didalamnya. Jadi hanya budak yang telah memiliki kemampuan untuk berumahtangga .
Kandungan ayat ini adalah tentang kedudukan wali dalam pernikahan serta hikmah pernikahan itu sendiri. Wali dalam pengertian umum adalah orang yang berwenang terhadap orang lain. Istilah wali dalam akad pernikahan ialah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan. Wali yang utama adalah ayah dari mempelai perempuan karena kedekatannya sebagai orang tua yang lebih faham tentang anaknya, kemudian baru dari keluarga yang lain.
Surah an nur: 32 mengingatkan kembali salah satu kewajiban wali/orang tua yaitu menikahkannya jika dianggap telah layak dengan kata angkihu (أنكحوا). Terkhusus bagi wali - dalam istilah pernikahan - dan keluarga wanita untuk tidak mempersulit seorang laki-laki yang datang untuk melamar. Di masyarakat kadang hal ini terjadi dengan meninggikan mahar dengan memperkirakan jumlah yang tidak mampu disediakan oleh mempelai laki-laki ataupun dengan alasan yang lain. Kecuali jika mahar yang besar telah menjadi budaya dalam suatu masyarakat dan tidak meninggikan mahar disini bukan berarti murah yang murahan.
Padahal Nabi telah memperingatkan hal itu:
إذا جاءكم مَنْ ترضون دينه وخلقه فزوِّجوه، إلاَّ تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد كبير ".
“Jika datang – seorang laki-laki melamar – yang menurutmu baik agama dan akhlaknya maka nikahkanlah, jika tidak akan menjadi fitnah bagimu di dunia dan kecelakaan yang besar.”
Wali adalah orang yang memiliki andil dalam menetukan kebahagian rumah tangga pernikahan khususnya dari pihak wanita. Sehingga jika telah menemukan seorang yang sekufu maka hendaknya menikahkan dengan wanita yang menjadi perwaliannya.
Salah satu hikmah nikah yang dijelaskan dalam surah an nur:32 adalah janji kekayaan bagi seseorang yang menikah kerena mengharap ridho Allah dan menjaga diri dari kejelekan. Hal ini juga dibenarkan nabi:
ثَلاَثَةٌ كُلُّهُمْ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُ الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِى يُرِيدُ الأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِى يُرِيدُ التَّعَفُّفَ
“Ada tiga kelompok orang yang berhak mendapatkan pertolongan Allah: mujahid di jalan Allah, orang yang menikah yang menjaga kehormatan, dan budak yang menginginkan kemerdekaan.”
Kekayaan dalam hal ini tidak hanya berupa harta benda saja. Jadi sangat memungkinkah seseorang yang telah menikah tidak terlalu berbeda ekonominya saat sebelum menikah. Yang utama adalah kekayaan hati.
Realita di masyarakat memperlihatkan bahwa sebagain pasangan yang bersungguh-sungguh membangun rumah tangga, mampu membiayai kebutuhan anak dan keluarganya walaupun sebelum menikah tidak memiliki penghasilan yang banyak.
Pada bagian masyarakat lainnya tidak mengalami peningkatan keuangan yang mencolok, akan tetapi pemikiran dan tindakan mereka menjadi lebih dewasa. Seseorang yang telah membangun rumah tangga akan mandapatkan motivasi yang membuatnya mengerahkan kemampuan yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, inilah modal kekayaan yang sangat besar dan merupakan semangat hidup yang sangat berharga.
C. Hukum Pernikahan
Dengan melihat pada pesan yang disampaikan ayat-ayat di atas, bahwa hakikat dari pernikahan adalah akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang asalnya tidak dibolehkan. Maka boleh diartikan bahwa hukum pernikahan asalnya adalah mubah. Oleh karena pernikahan itu dilaksanakan oleh Rasulullah semasa hidupnya, maka nikah merupakan sunnah Rasul. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhory dalam shahihnya, dari anas bin Malik terkait dengan ayat anjuran nikah di atas. Di dalam Al Qur’an pun Allah banyak menyeru untuk menikah dalam firman-firman-Nya, sebagaimana ayat-ayat yang telah disebutkan di atas. Dengan banyaknya anjuran-anjuran untuk menikah tersebut, dapat dimaknai bahwa pernikahan merupakan perbuatan yang lebih disenangi oleh Allah dan RasulNya.
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum asal nikah. Di satu sisi mengatakan bahwa nikah asalnya adalah sunnah. Sebab banyaknya anjuran untuk melakukannya yang terdapat dalam hadits Rasulullah. Namun seruan al Qur’an maupun sunnah tidak mengandung makna wajib. Jumhur ulama menyatakan hukum perkawinan dengan melihat pada keadaan orang-orang tertentu : yakni Sunnah, bagi yang berkeinginan untuk menikah dan mampu untuk melakukannya; Makruh, bagi yang belum mampu, dan belum pantas untuk menikah; Wajib, bagi yang sudah pantas untuk menikah, punya bekal dan mampu serta takut terjerumus dalam kenistaan karena berbuat hina; Haram, bagi mereka yang tidak dapat memenuhi tuntutan syara’ ; Mubah, bagi yang sebenarnya tidak begitu berkeinginan untuk menikah, dan dengan tidak menikahnya itu tidak mendatangkan kemudharatan bagi siapapun.
D. Tujuan dan Hikmah Pernikahan
Telah tersebutkan dalam surat Ar Ruum ayat 21 bahwa tujuan pernikahan adalah agar kedua mempelai mendapatkan ketentraman, saling cinta mencintai serta saling mengasihi satu sama lain. Agar kerisauan dan keterasingan itu berganti menjadi ketenangan dan kebahagiaan. Serta yang terpenting adalah untuk melangsungkan keturunan yang sah, sebagai generasi penerus.
Hikmahnya adalah untuk menjaga kehormatan diri agar tidak terjerumus dalam kenistaan. Selain itu hikmah yang lain adalah hidup menjadi lebih teratur , lebih tenteram, dan semangat hidup menjadi bertambah. ( Lihat; An Nur: 32 )

Kesimpulan

Term “ nikah” berasal dari bahasa Arab “ nakaha-yankihu-nakhan” yang artinya mengumpulkan, diartikan bersetubuh. Di dalam Al Qur’an term ini disebutkan beberapa kali, adapun ayat-ayat Al Qur’an yang secara khusus membicarakan tentang “ anjuran menikah “ terdapat dalam 4 ayat yang terangkum dalam 3 surat yakni : ( 4;3 ), ( 24;3,32 ) dan ( 30;21 ). Pernikahan adalah : Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban.
Surat Ar Ruum: 21 menjelaskan tentang cara manusia tersebar melalui pernikahan, setelah ayat sebelumnya menjelaskan tentang perkembangbiakan manusia. Dari sini terlihat jelas bahwa dengan menikah ketentraman akan terwujud dan kelangsungan hidup manusia akan terus ada tanpa harus mengalami kekurangan spesies atau kepunahan. Pada ayat selanjutnya ( An Nisa:3 ), dijelaskan di dalamnya prosedur pernikahan sebagai sebuah solusi. Dimana solusi tersebut menyelesaikan problem para wali ( orang tua asuh ) yang mengasuh anak-anak yatim perempuan dan takut berlaku tidak adil terhadap mereka. Dengan menimbang asbabun nuzulnya, ayat ini merupakan jalan keluar atas permasalahan pada saat itu. Dimana banyak laki-laki dewasa yang mengasuh anak yatim yang berharta, lalu mereka menikah dengannya dengan tujuan istrinya yang menafkahinya dan dia pun tidak memperhatikan maharnya. Sehingga penjelasan tentang adab dan tata cara berumah tangga yang baik pun dijelaskan pada ayat berikutnya yakni An Nisa : 4 tentang mahar. Artinya, tidak sekedar menikahi dan menikmati hartanya saja.
Adapun keadaan sekufu sangatlah dianjurkan, bahkan diharuskan. Sebab keadaan tidak sekufu akan mempersulit hubungan. Di samping itu sekufulah yang membuat rumah tangga itu menjadi tenteram dan damai. Sebagaimana yang diterangkan dalam An Nur ayat 3. Seorang pezina adalah untuk pezina atau orang musyrik, orang musyrik adalah untuk orang musyrik atau para pezina. Dan seorang pezina tidak dibolehkan_menurut sebagian ulama_menikah dengan muslim yang baik, lantaran tidak sekufu. Konsep sekufu dalam pernikahan dan prioritas yang didahulukan adalah inti dari ayat ini. Seraya di dalamnya mengandung makna ketidakpantasan antara muslim yang taat dan bermaksiat membangun rumah tangga bersama.
Disamping itu pada ayat ke-32 dalam surat yang sama menjelaskan perkara perwalian. Dimana seorang wali haruslah menjaga kehormatan anak atau anak asuhnya. Dengan menikahkannya pada orang-orang yang shaleh untuk tujuan yang shaleh pula akan mendapatkan keberkahan hidup. Dalam ayat itu pun dijelaskan bagi siapa yang miskin lalu menikah maka Allah akan menjadikannya kaya. Di sini kaya tidak hanya dimaknai sebatas kekayaan material, tetapi juga immaterial. Seperti, perasaan selalu tentram, semangat bekerja meningkat dan lain-lain. Adalah kewajiban bagi wali/orang tua terhadap anak untuk menikahkan mereka, jika telah dinggap mampu dan sikap wali/orang tua dalam menyeleksi pasangan bagi anaknya. Salah satu hikmah pernikahan adalah janji kekayaan dari Allah, baik kekayaan harta maupun lainnya, seperti semangat hidup.
Menikah itu dianjurkan, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits. Meskipun tidak diwajibkan secara langsung, tetapi pernikahan adalah hal yang lebih disukai oleh Allah dan RasulNya. Sehingga para ulama mengklasifikasikan hukum nikah menjadi lima, tergantung pada kondisi personalnya. Adalakalanya hukumnya sunnah, mubah, bisa jadi wajib, makruh bahkan haram sesuai dengan kondisi masing-masing orang. Adapun tujuannya adalah untuk memperoleh ketentraman dan kelangsungan keturunan. Sementara hikmah pernikahan ialah meningkatnya semangat hidup untuk terus maju, meningkatnya etos kerja serta rizkinya menjadi lancar.

Saran
Penulisan makalah tafsir tematik bertema “ nikah “ ini sangatlah jauh dari kesempurnaan. Karenanya perbaikan dan kritikan sangatlah penulis harapkan untuk memperbaiki karya tulis ini agar lebih baik dan lebih bermanfaat untuk pembaca.





Daftar Referensi :

Al Alusy, Syihabuddin Mahmud, 2003, Ruuhul Ma’any Juz 11, Beirut: Dar El Fikr
Al Barudy, Syeikh Imad Zaky, 2006, Tafsir Wanita alih Bahasa oleh Samsun Rachman, Jakarta: Pustaka Al Kautsar
Al Imadi, Abu Suud, Irsyadul Aqly Salim Ila Mazayal Kitabil Karim, disadur dari http://www.altafsir.com.
Al Jashosh, 1993, Ahkamul Qur’an Juz 2, Beirut: Dar El Fikr
Al Qurtuby, 1995, Jami’ul Ahkamil Qur’an jilid VI, Beirut: Dar El Fikr
Ar Razy, Fakhruddin, 2000, Mafatihul Ghaib Juz 9, Beirut: Dar El Kutub Al Ilmiyah
Adhwaul Bayan Juz 6, Beirut: Dar El Kutub Al Ilmiyah
As Shobuny, Muhammad Ali, 2001, Rawai’ul Bayan Fii Tafsisri Ayatil Ahkam, Beirut : Dar El Kutub
As Sya’rawi, Mutawalli, 2003, Tafsir Sya’rawi, Beirut: Dar El Kutub
Departemen Agama, 2006, Al Qur’an dan Terjemahnya, Yogjakarta: Diponegoro
H.Saleh dan H.A.A.Dahlan, 2004, Asbabun Nuzul, Yogjakarta: Diponegoro
Hajjaj, Muslim, 2001, Shahih Muslim, Beirut: Darul Ihyaai At Turats
Shihab, M.Quraish, 1999, Tafsir Al MIsbah Vol.2, 9, 11, Jakarta: Lentera Hati
Syarifuddin, Amir, 2009, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Yunus, Mahmud, 1989, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung
Zuhaily, Wahbah, 2003. Tafsir Al Munir Jilid VI, Beirut: Dar El Fikr


• Penulis adalah mahasiswi sem.4 Fak.Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya, tercatat sebagai anggota CSS MoRa ’08.

Tafsir Tematik , Ayat Hijab: jilbab Syar'i atau budaya????

TAFSIR TEMATIK:

Ayat-Ayat Hijab; Jilbab Syar’i atau Budaya?

Oleh : Khoirotul Ula*

Pendahuluan

Islam merupakan Agama yang komplek yang di dalamnya mengatur segala kehidupan ummatnya, memberikan perlindungan dan rahmat bagi seluruh alam. Tidak membedakan antara laki-laki maupun wanita semuanya mempunyai kewajiban untuk menjalankan hukum Islam secara sepenuhnya. Namun dewasa ini, banyak wanita-wanita muslimah yang tidak menutup aurat mereka, bahkan mengumbar aurat kemana-mana.

Bukan karena Islam yang tidak mengatur atau karena Islam memproteksi umatnya untuk melakukan perubahan besar di dunia ini, akan tetapi karena hukum Islam yang mewajibkan para wanita muslimah untuk tetap menutup aurat mereka di luar rumah dalam kondisi apapun ( baca : bekerja di luar rumah ). Sebab bukan halangan bagi wanita muslimah untuk berkarier di luar rumah asalkan ia tetap menampakkan identitas kemuslimahannya. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga kehormatan dan kesucian mereka sendiri. Bukan sesuatu yang buruk apabila seorang muslimah berkarier dan bekerja di luar rumah maupun menuntut ilmu yang mengharuskannya untuk meninggalkan rumahnya, akan tetapi kewajiban untuk menutup aurat ( baca : menggunakan hijab ) adalah suatu keharusan.

Berawal dari boleh dan tidaknya wanita keluar rumah serta boleh tidaknya wanita bekerja di luar rumah penulis merenungkan apakah alasan tidak diperbolehkannya wanita keluar rumah ( konsep penafsiran ulama’ terdahulu ) serta bagaimana solusi yang tepat mengenai hal itu dengan meninjau tuntutan kehidupan masa kini yang membutuhkan keprofesionalan dan kredibilitas yang tinggi. Sehingga “ hijab” menjadi suatu jawaban untuk melindungi muslimah dari pertanyaan-pertanyaan dan proteksi tersebut.

Bias gender memang sedikit mempengaruhi pemikiran wanita muslimah masa kini, seperti provokasi tentang tidak wajibnya hijab bagi muslimah sekarang adalah dengan dalih historisitas turunnya ayat itu yang diindikasikan bahwa hijab hanyalah budayanya orang Arab atau hanya sebagai simbol belaka bukan dengan tujuan melindungi kehormatan kaum Muslimin . Benar ataupun tidaknya pendapat yang demikian itu maka penulis melakukan analisis terhadap nash yang berhubungan dengan hijab sebagai jawaban atas keraguan dan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari masalah-masalah yang menimbulkan kontroversi ini.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan permasalahan yaitu Apakah hijab itu merupakan pakaian syar’i atau adat dan kebudayaan ?”

Pengertian Hijab

Term hijab berasal dari kata “ hajaba” yang artinya menghalangi antara dua hal. Di dalam Al Qur’an term ini disebutkan sebanyak sembilan kali, yakni ( QS 33: 53 ), ( QS 42 : 51 ), ( QS 7 : 46 ), ( QS 41 : 5 ), ( QS 17 : 45 ), 19 : 17 ) dan ( QS : 83 : 15 ). Adapun ayat-ayat yang menjelaskan tentang hijab sendiri ada 5 ayat yang terangkum dalam dua surat yaitu Al Ahzab : 33, 53,dan 59 serta An Nur : 31 dan 60.

Hijab dalam segi bahasanya diartikan tabir. Tabir yang menghalangi antara dua hal. Dalam konteksnya hijab sering kali dipahami sebagai jilbab yang sebenarnya berbeda. Meski demikian keterangan tentang hijab maupun jilbab saling berkaitan. Jika dalam pandangan masyarakat sekarang jilbab dimaknai sebagai pakaian­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­, yang menurut pemahaman sebagian orang, adalah pemahaman sebagaimana yang dipahami oleh para mufasir. Pakaian itu berupa pakaian besar yang menutupi pakaian penutup aurat wanita serta tutup kepala. Pemahaman tentang jilbab yang demikian itu didasarkan pada interpretasi terhadap ayat-ayat yang saling berkorelasi dengan ayat hijab.

Jika ibrah yang disampaikan dalam ayat-ayat hijab itu lebih mengarah pada esensi pensyari’atan hijab itu sendiri, yakni menghalangi terlihatnya perhiasan ( aurat ) wanita dari pandangan orang –orang yang bukan muhrimnya, maka pemaknaan jilbab sebagai hijab bukanlah suatu permasalahan, bahkan merupakan suatu titik temu yang memudahkan. Sebab objek yang dikenai interpretasi itu telah menuai titik persamaan dan persoalan yang sinkron, yakni pada perintah keharusan menutup aurat. Sehingga pemaknaan hijab sebagai jilbab yang dalam hal ini diarahkan pada pensyari’atan berpakaian bagi muslimah ( baca : menutup aurat ) merupakan suatu pesan yang mengindikasikan pada hukum memakai hijab itu sendiri. Akan tetapi dalam konteks yang lebih luas hijab bukan hanya sekedar pakaian yang menutupi fisik, akan tetapi lebih mengarah pada penjagaan diri, kehormatan serta menjaga kesucian hati dari godaan nafsu syahwati yang melenakan. Lihat An Nur :30-31 tentang kewajiban ghadhul bashor bagi mukmin maupun mukminah untuk memelihara jiwanya dari dorongan nafsunya yang menyala-nyala. Ini menandakan kalau penghijaban diri bukan hanya sekedar menutupi fisik akan tetapi menghijabi hati juga merupakan pesan yang tidak bisa dianggap remeh, bahkan merupakan suatu keharusan.

Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa esensi dari pesan yang ada adalah menjaga kehormatan diri. Oleh sebab itu pemakaian hijab, yang dalam hal ini lebih sering dimaknai sebagai jilbab, adalah suatu kewajiban untuk mengaplikasikan pesan yang dikandung dalam teks tersebut. Jadi hijab bukan hanya sekedar hijab dhahir tapi juga hijab batin yang menjadi buah manis dari perilaku yang senantiasa dijilbabi oleh jilbab syar’i dan spirit keislaman.

Kajian Ayat-Ayat Bertema Hijab

Di dalam Al Qur’an banyak menerangkan ayat-ayat bertemakan hijab. Adapun urutan ayat-ayat tersebut berdasarkan kronologi turunnya adalah :

Ayat pertama, menjelaskan tentang keharusan adanya penghalang antara laki-laki dan perempuan ( hijab ), yakni Al Ahzab ayat 53 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ وَاللَّهُ لا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا (٥٣)

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya)[1228][1], tetapi jika kamu diundang. Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah Amat besar (dosanya) di sisi Allah.( Al Ahzab : 53 )

Ayat ini termasuk dalam golongan madaniyah sebab secara keseluruhan ayat-ayat dalam Surat Al Ahzab adalah surat Madaniyah. Sebagaimana yang disebutkan dalam Al Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa Rasulullah tatkala menikah dengan Zaenab binti Jahsy beliau mengundang masyarakat untuk menghadiri pernikahannya. Lalu mereka makan dan duduk serta berbincang-bincang. Maka Rasulullah beranjak mau berdiri tetapi mereka tidak juga bangkit dari tempat duduknya. Maka beliau berdiri, lalu masuk dan datang kemudian kembali masuk. Namun mereka masih juga tetap duduk. Lalu Rasulullah masuk dan kembali lagi dan saya ( Anas ) mengabarkan kepada beliau bahwa mereka telah pulang. Maka beliau masuk dan aku pun ikut masuk, kemudian beliau memasang hijab antara beliau dan saya, dan Allah menurunkan ayat ini.[2] Dan dari riwayat lain sahabat Nabi.Saw Anas bin Malik menyatakan bahwa Sayyidina Umar ra. menyatakan kepada Nabi saw. : “Wahai Rasul, orang baik dan tidak baik masuk ke dalam rumahmu, apakah tidak sebaiknya engkau memerintahkan Ummahatul Mukminin ( istri-istri Nabi ) memasang hijab? “ Maka turunlah ayat ini yang memerintahkan penggunaan tabir.[3]Kedua riwayat tersebut tidak bertentangan bahkan merupakan suatu keniscayaan, sebab bisa jadi Sayyidina Umar mengusulkannya beberapa saat sebelum terjadinya undangan Nabi merayakan perkawinannya dengan Zaenab binti Jahsy.

Keterkaitan ayat ini dengan ayat sebelum maupun sesudahnya masih sangat tampak , setelah sebelumnya menerangkan tentang pembolehan bagi Rasulullah untuk menikahi atau menggauli hamba sahayanya, maka ayat ini menerangkan tentang adab bertamu di rumah Rasulullah serta menerangkan tentang keharusan memakai hijab antara sahabat Rasul dan istri-istri beliau. Kata مُسْتَأْنِسِينَ terambil dari kata “uns” yang artinya kesenangan. Dijelaskan secara implisit bahwa mereka senang melakukan percakapan dengan istri Rasulullah, padahal hal tersebut dapat menyakiti Nabi. Adapun illat keharusan memakai hijab juga diterangkan secara implisit dalam kalimat selanjutnya ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ yakni supaya menjaga hati mereka ( laki-laki ) dan istri Rasulullah ( baca : muslimah secara keseluruhan ). Rujuklah pada An Nur : 31 ( ayat selanjutnya ) yang menerangkan keharusan menjaga pandangan serta memelihara kemaluan baik laki-laki maupun perempuan. Dilanjutkan dengan ayat yang secara khusus menerangkan bagaimana hijab itu, yakni :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ

فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّه غَفُورًا رَحِيمًا (٥٩)

Artinya :Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] [4]ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ( Al Ahzab : 59 )

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ayat ini turun setelah perintah memakai hijab maka ayat ini adalah ayat madaniyah. Adapun sebab turunnya ayat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Suday bahwa orang-orang fasiq sering menggoda wanita ketika mereka keluar rumah malam hari, apabila mereka melihat mereka ( para wanita ) menggunakan tutup kepala, maka mereka meninggalkannya karena mereka tahu bahwa wanita itu adalah wanita merdeka akan tetapi jika tidak maka mereka menggodanya. Maka turunlah ayat ini. ( lihat Zaad Al Masir , Ibnu Qayyim Al Jauzy )[5]. Disamping itu para Ulama’ ahli tafsir menyepakati bahwa sebab turunnya ayat ini adalah pada waktu itu baik wanita merdeka maupun budak sama-sama keluar malam untuk menunaikan hajat di Ghaithan, keduanya tidak ada perbedaan antara yang merdeka maupun yang hamba sahaya. Karena di Madinah banyak orang-orang fasik yang suka menjahili dan mengganggu para hamba sahaya, sehingga ketika mereka tahu bahwa mereka adalah wanita merdeka maka mereka meninggalkannya dan tetap mengganggu wanita yang hamba sahaya. Maka turunlah ayat tersebut sehingga wanita yang merdeka menjadi mudah dikenal dan tidak diganggu[6]. Dari dua riwayat di atas dapat dikompromikan bahwa munculnya ayat di atas berkenaan dengan perlindungan terhadap kehormatan dan keselamatan diri wanita.

Setelah ayat-ayat yang sebelumnya dari surat Al Ahzab menerangkan tentang larangan menggoda istri Rasulullah maka dalam ayat secara implisit dijelaskan tentang perintah untuk menghindari sebab-sebab yang menimbulkan pelecehan dan penghinaan. Ayat ini tidak secara khusus mengarah pada istri Rasulullah akan tetapi juga kepada keseluruhan wanita muslimah. Adapun جَلابِيبِهِنَّ yang berasal dari kata “ jilbab” masih diperselisihkan maknanya oleh para Ulama’. Al Baqa’i memaknainya sebagai baju yang longgar atau kerudung yang dipakainya, atau semua pakaian yang menutupi wanita. Thabathaba’i memahaminya sebagai pakaian yang menutupi seluruh badan atau kerudung yang menutupi kepala dan wajah wanita. Adapun Ibn ‘Asyur memaknainya sebagai pakaian yang lebih kecil dari jubah tetapi lebih besar dari kerudung atau penutup wajah.[7] Akan tetapi dari redaksi ayat ini dapat diketahui bahwa ayat ini tidak memerintahkan mereka secara langsung untuk memakai jilbab sebab mereka telah memakainya, hal ini terlihat dengan adanya redaksi “ hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya “ . Ini berarti mereka telah memakai jilbab akan tetapi belum mengulurkannya. Ayat selanjutnya yang menerangkan tentang hijab adalah An Nur ayat 31 yang pernah penulis singgung sebelumnya.

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٣١)

Artinya : Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. ( QS An Nur : 31 )

Ayat ini di turun Madinah yang merupakan ayat dari surat An Nur yaitu surat yang keseratus, termasuk golongan Madaniyah. Diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dari Muqatil bin Hayyan dari Jabir bin Abdillah Al Anshary berkata bahwa Asma binti Murtsid, pemilik kebun kurma, sering dikunjungi wanita-wanita yang bermain-main di kebunnya tanpa berkain panjang sehingga kelihatan gelang-gelang kakinya. Demikian juga dada dan sanggul mereka kelihatan, maka Asma berkata : “ Alangkah buruknya pemandangan ini “ maka turunlah ayat ini yang berkenaan dengan perintah bagi kaum mukminat untuk menutup aurat mereka. Hal yang serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Jabir.[8] Dari Ali Karromallahu Wajhah berkata, bahwa : pada masa Rasulullah ada seorang laki-laki berjalan-jalan di Madinah, dia melihat seorang wanita dan wanita itupun melihatnya, maka syetan menggoda keduanya, mereka sama-sama kagum, lalu ketika lelaki itu berjalan ke arah tembok ia tidak melihatnya sehingga ia terbentur tembok tersebut dan hidungnya berdarah, sebab ia hanya disibukkan oleh wanita itu. Maka ia berkata bahwa ia tidak akan mengusap darah itu sehingga ia bertemu Rasulullah dan menceritakan perihal keadaannya. Maka ketika bertemu Rasulullah, beliau berkata kepadanya : “Ini adalah akibat dosamu”, kemudian turunlah ayat ini.[9] Mengenai riwayat yang bersumber dari Ali ra. erat kaitannya dengan ayat sebelumnya. Akan tetapi dua riwayat yang lainnya lebih menekankan pada perilaku muslimah dan keharusan seorang muslimah untuk menutup auratnya. Jadi ketiga riwayat tersebut tidak ada yang bertentangan hanya saja redaksi penyampaiannya berbeda. Bisa jadi sebab yang lebih khusus itu diutamakan untuk perempuan sedangkan sebab yang sama dengan perintah untuk laki-laki itu dikarenakan korelasinya dengan ayat tersebut.

Ayat sebelumnya yakni An Nur : 30 yang menjelaskan tentang perintah menjaga pandangan dan memelihara kemaluan bagi mukmin, maka ayat selanjutnya pun menerangkan hal yang sama dan ditujukan kepada mukminah. Pada penggalan ayat إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا terjadi perbedaan pendapat di kalangan mufassir dalam memaknainya. Batasan “ kecuali yang biasa tampak darinya “ masih dipertanyakan, akan tetapi sebagian besar para ahli tafsir memaknainya perhiasan yang biasa tampak itu adalah wajah dan kedua telapak tangan. Adapun perhiasan/ zinah sendiri maknanya juga masih di perselisihkan apakah itu pakaian atau perhiasan yang berupa sebagian tubuh perempuan. Ayat ini berhubungkan dengan ayat hijab Al Ahzab : 53 tentang penjagaan hati dan ayat 59 tentang mengulurkan jilbab. Ayat selanjutnya adalah Al Ahzab : 33.

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّه

وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (٣٣)

Artinya : “ Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias serta bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah terdahulu, dan dirikanlah shalat, tuanikanlah zakat, dan taatilah Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih –bersihnya. ( QS.Al Ahzab : 33)

Ayat di atas merupakan ayat yang termasuk dalam golongan madaniyah. Sebab sebagian besar ayat-ayat dari surat Al Ahzab adalah ayat madaniyah. Ayat ini merupakan ayat yang menjelaskan tentang akhlak berpakaian para istri Rasulullah yang berkorelasi dengan ayat sebelumnya yang berhubungan dengan ucapan dan perbuatan para istri beliau. Dari segi qira’ahnya pada awal ayat ini قَرْنَ dibaca oleh Ashim dan Abu Ja’far yang berasal dari kata “ iqrarna “ yang artinya menetap. Akan tetapi ada yang mengatakan bahwa kalimat itu berasal dari “ Qurrotu Aini “ yang maknanya sesuatu yang menyenangkan hati. Yakni yang dimaksud adalah rumah yang menjadi tempat yang menyenangkan hati. Banyak juga ulama’ yang membacanya “ qirna “ yang artinya menetap juga. Ayat ini lebih mengkhususkan tentang larangan ber-tabarruj yang berarti larangan menampakkan perhiasan. وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى artinya larangan bertabarruj sebagaimana masyarakat jahiliyah yang lalu yang mengabaikan nilai-nilai ajaran Ilahi, melakukan hal-hal yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu, kepentingan sementara, maupun kepicikan pandangan. Istilah bertabarruj ini berkorelasi secara maknawi dengan ayat yang bertema sama yakni An Nur : 60. Ayat ini turun di rumah istri Rasulullah, Ummu Salamah . Ketika itu Nabi saw. memanggil Fatimah, putri beliau, bersama suaminya yakni Ali bin Abi Thalib dan kedua putra mereka yakni Hasan dan Husain. Nabi menyelubungi mereka dengan kerudung sambil berdo’a. Ummu Salamah ingin bergabung dalam kerudung itu tapi Rasulullah mencegahnya. ( HR. Thabrani dari Ummu Salamah ). [10] Adapun ayat yang terakhir adalah An Nur ayat 60 :

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللاتِي لا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (٦٠)

Artinya : Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian[1050][11] mereka dengan tidak (bermaksud) Menampakkan perhiasan, dan Berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana. ( An Nur : 60 )

Ayat ini merupakan pengecualian dari ayat 31, jika pada ayat 31 mengharuskan wanita untuk tidak menampakkan perhiasan , maka disini dikecualikan pada wanita yang telah tua yakni yang tidak berhasrat lagi menikah. Maksud dari pembolehan menanggalkan pakaian adalah pakaian luar ( penutup kepala dan pakaian longgar yang menutupi pakaian yang dipakai untuk menutupi aurat ). Lebih spesifik lagi bahwasanya ayat ini adalah takhshish dari ayat-ayat hijab sebelumnya. Sebagaimana ayat sebelumnya ayat ini juga termasuk ayat madaniyah. Ibnu Mas’ud membaca yasta’fifna “ tanpa sin menjadi “ yata’affafna “ yang artinya menjaga kesucian. [12]Sehingga dapat disimpulkan bahwa melepas pakaian luar bagi wanita tua adalah suatu hal yang dibolehkan, akan tetapi akan lebih baik apabila mereka tetap menjaga kesuciannya dengan bersikap sopan.

Pandangan Ulama’ tentang Hijab ( antara Budaya dan Syari’at )

Muhammad Ali Ashobuny[13] berpendapat bahwasanya hijab adalah sesuatu yang menghalangi pandangan. Dalam hal ini hijab syar’i identik dengan jilbab Syar’i. hijab adalah sesuatu yang diwajibkan dipakai oleh wanita muslimah guna menjaga diri dan kehormatannya dari penghinaan dan pelecehan. Adapun hijab sendiri diaplikasikan dalam bentuk jilbab syar’i yang berupa pakaian yang menutupi pakaian yang menutupi aurat perempuan dan kepalanya. Hal ini beliau maknai dengan adanya korelasi ayat ( QS 33: 59 ) dengan ( QS 24 : 31 ), yang menunjukkan perintah memanjangkan jilbab dan menutupkan kain kerudung ke dada perempuan serta larangan menampakkan perhiasan, dan seluruh tubuhnya, karena menurut beliau semua anggota tubuh wanita adalah aurat. Jadi harus menutupi wajah maupun telapak tangan.

Quraish Shihab mengatakan bahwa hijab pada awalnya diartikan sebagai tabir, yakni sesuatu yang menghalangi antara dua hal. Namun dalam perkembangannya beliau memahami kata hijab sebagai pakaian karena tujuan dari penghalangan yang dimaksud adalah tertutupnya seluruh badan wanita. Sehingga beliau mengartikan bahwa hijab yang dimaksud adalah jilbab yang merupakan pakaian wanita muslimah yang menutup auratnya, tidak ketat dan tidak transparan.[14] Syaikh Imad Zaki Al Barudi mengartikan hijab itu sebagai tabir. Adapun perkara jilbab, beliau mengartikannya sebagai pakaian wanita yang punya kaitan dengan kewajiban wanita muslimah untuk menjaga dirinya dan tidak menampakkan perhiasan. Jilbab menurutnya adalah baju besar yang menutupi seluruh tubuh perempuan kecuali matanya, sebab dengan terlihatnya mata dia bisa melihat.[15]

Menurut Qasim Amin, Cendekiawan Mesir, mengatakan bahwa tidak ada suatu ketetapan agama yang mewajibkan pakaian khusus ( hijab atau jilbab ). Pakaian yang dikenal dalam masyarakat Islam itu menurutnya adalah adat kebiasaan yang lahir akibat pergaulan masyarakat Mesir ( Islam ) dengan bangsa-bangsa lain yang mereka anggap baik, karena itu mereka menirunya dan menilainya sebagai tuntutan agama. Ia juga membolehkan perempuan menampakkan bagian tubuhnya dihadapan orang yang bukan mahramnya, sebab Al Qur’an tidak secara jelas menentukan bagian mana yang tidak boleh ditampakkan.[16]

Muhammad Syahrur[17] mengatakan bahwa hijab hanyalah bias budaya, sebab pada masa turunnya ayat itu perbudakan masih ada. Sehingga untuk membedakan antara wanita merdeka dan hamba sahaya adalah dengan menggunakan hijab ( baca : jilbab ). Konsekuensi dari pembedaan pakaian itu bukan merupakan beban syari’at bagi perempuan, tetapi lebih sebagai standar kesopanan yang dituntut oleh pola kehidupan sosial di mana pola itu berubah, maka standar tersebut turut berubah pula. Dengan melihat pada konteks masa lalu yang pada awalnya perempuan merdeka memakai pakaian seperti hamba sahaya, lalu Allah menyuruh istri-istri kaum muslimin untuk mengulurkan jilbab mereka sampai benar-benar menutupi aurat mereka. Hal ini berarti bahwa jilbab diterapkan sebagai media preventif dalam kondisi khusus ketika perempuan merdeka memasuki lingkungan sosial di kota. Mereka ( penduduk Madinah ) akhirnya mendapati hubungan antara jilbab dan tatanan etika sosial di Madinah. Ia juga mengutip pendapat Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa hijab dikhususkan bagi perempuan merdeka dan tidak berlaku bagi perempuan budak sebagaimana yang ditradisikan pada masa Rasulullah dan Khulafaur rasyidin. Tradisi itu mewajibkan perempuan merdeka berpakaian tertutup dan perempuan budak berpakaian terbuka. Ketika Umar melihat seorang budak perempuan menggunakan kerudung ia memukulnya. Ibnu Taimiyah menuturkan pula : “ Para budak perempuan pada masa sahabat berlalu lalang di jalanan tanpa mengenakan tutup kepala. Mereka membantu pekerjaan tuannya tanpa rasa khawatir “. Ia juga mengatakan bahwa juyub itu adalah lubang yang berarti aurat wanita yang harus ditutupi. Ia memaknai aurat wanita hanya sebatas pada payudara, pinggang, pantat serta kemaluannya saja, lain dari pada itu tidak termasuk aurat wanita.

Berbeda lagi dengan Al Qurthuby yang mengatakan bahwa menutup atau memakai jilbab adalah suatu kewajiban. Seluruh tubuh wanita adalah aurat maka wajib ditutupi dengan hijab ( baca: jilbab ) kecuali wajah dan telapak tangannya, hal ini merupakan pendapat yang lebih kuat atas dasar kehati-hatian. Tidak terlalu ekstrim pembolehan membukanya tidak pula terlalu ekstrim dalam hal menutupinya ( sampai tidak kelihatan wajahnya ).

Jamaluddin Muhammad,[18] seorang Mufti Mesir, mengatakan bahwa jilbab tidak harus menutup seluruh tubuh, cukup menutupi semuanya kecuali wajah, telapak tangan dan sebagian tangan. Sebab pada masa sekarang wanita- wanita banyak yang bekerja yang tidak menutup kemungkinan harus membuka tangannya untuk keperluan tertentu.

Syeikh Muhammad Suad jalal[19], seorang Ulama’ Mesir Al Azhar, berpendapat bahwa yang menjadi dasar dalam menetapkan apa yang membolehkan dinampakkan dari hiasan wanita adalah apa yang berlaku dalam adat kebiasaan masyarakat, sehingga dalam masyarakat yang tidak membolehkan penampakan lebih dari wajah dan kedua telapak tangan , maka itulah yang berlaku buat mereka, sedangkan dalam masyarakat yang membolehkan membuka setengah dari betis atau tangan dan mereka menilai hal tersebut tidak mengandung fitnah atau rangsangan, maka bagian-bagian itu termasuk dari hiasan lahiriyah yang dapat dibuka dan dinampakkan.

Adapun pendapat-pendapat ulama’ kontemporer yang lain masih banyak lagi, maka penulis menggaris bawahi secara garis besar ada dua golongan yang mengemukakan pendapatnya tentang hijab . kelompok pertama, adalah kelompok yang merujuk pada kaidah keagamaan dan dalil Al Qur’an dan Hadits, sehingga mereka mengemukakan bahwa hijab atau jilbab adalah pakaian syar’i yang wajib bagi muslimah. Kelompok kedua , adalah kelompok yang mengemukakan pendapatnya tanpa dalil keagamaan, kalaupun ada pemikiran mereka tidak sejalan dengan kaidah ilmu agama, sehingga lebih cenderung liberal dan menekankan hijab pada aspek budayanya. Perbedaan pendapat itu tetaplah menjadi suatu perbedaan yang tak ada ujungnya, sebab mereka punya dasar yang kuat dan bukan hanya sekedar argumen biasa, mereka pun saling mematahkan pendapat satu sama lain. Akan tetapi perlu diketahui perbedaan ini adalah suatu rahmat dalam ilmu fiqh.

Kesimpulan

Term hijab berasal dari kata “ hajaba” yang artinya menghalangi antara dua hal. Di dalam Al Qur’an term ini disebutkan sebanyak Sembilan kali, yakni ( QS 33: 53 ), ( QS 42 : 51 ), ( QS 7 : 46 ), ( QS 41 : 5 ), ( QS 17 : 45 ), 19 : 17 ) dan ( QS : 83 : 15 ). Adapun ayat-ayat yang menjelaskan tentang hijab sendiri ada 5 ayat yang terangkum dalam dua surat yaitu Al Ahzab : 33, 53,dan 59 serta An Nur : 31 dan 60.

Dalam surat Al Ahzab: 53 dijelaskan bahwa hijab adalah tabir yang menghalangi pandangan antara laki-laki dan perempuan dalam satu majelis. Bila diperlukan perbincangan antara keduanya agar tidak menimbulkan penyakit terhadap hati laki-laki maupun perempuan maka perbincangan itu harus dilakukan di balik tabir ( hijab ). Akan tetapi dalam ayat lainnya yakni ayat 59 hijab diartikan dan dijelaskan bahwa hijab adalah jilbab yang merupakan kain yang menutupi pakaian penutup aurat wanita serta menutupi kepalanya. Adapun alasan keharusan memakai hijab sebagaimana dalam ayat 53 di atas menunjukkan keumuman lafadz yakni kewajiban bagi seluruh wanita muslimah. Maka hukum memakainya adalah wajib bagi semua wanita muslimah. Menurut hemat penulis antara hijab maupun jilbab tidak berbeda sebab tujuan utama dari hijab adalah menghalangi pandangan laki-laki terhadap perempuan dengan alasan untuk menjaga diri dan kesucian hati dan jiwa. Begitu juga dengan jilbab maka akan bisa menghalangi pandangan mereka terhadap perhiasan atau anggota tubuh perempuan yang bisa menjaga mereka pula dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Mengenai memakainya para ulama’ berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa hijab atau jilbab harus menutupi seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangannya. Namun pendapat yang lebih kuat adalah membolehkan terlihatnya wajah dan telapak tangan atas dasar kehati-hatian, yakni tidak terlalu ekstrim dalam pembebasannya tidak juga ekstrim dalam mengikatnya ( tertutup seluruh tubuhnya sampai pada wajah dan telapak tangannya ). Akan tetapi penguluran jilbab adalah suatu keharusan. Ayat hijab dalam surat An Nur 60 adalah takhshish dari ayat 31. Ayat 31 menjelaskan tentang aturan dan tata cara berpakaian bagi wanita muslimah serta perintah untuk menjaga pandangan bagi wanita. Akan tetapi pengecualian bagi wanita yang sudah tua yang sudah tidak menggairahkan lagi untuk menikahinya, sebagaimana yang tertera dalam ayat 60. Ia boleh melepaskan pakaian luarnya ( pakaian yang menutupi pakaian penutup auratnya ) dan tutup kepalanya. Namun akan lebih baik jika ia menjaga dirinya dan tetap memlihara kesopanannya. Sekaligus dalam ayat 31 dijelaskan tentang kebolehan menampakkan perhiasan di hadapan muhrimnya, dengan batas-batas kesopanan yang beradab tentunya. Hal ini berarti ada pengecualian bagi siapa hijab boleh tidak dipakai dan di hadapan siapa wanita muslimah dibolehkan melepas hijabnya.

Adapun pendapat para ulama’ masa kini mengenai hijab, secara garis besar ada dua golongan ulama’ yang memahami hijab berdasarkan sudut pandang masing-masing. Golongan pertama yang memahaminya sebagaimana pandangan para penafsir terdahulu yakni memahaminya sebagai suatu keharusan memakai hijab bagi muslimah dan disertai dengan dasar-dasar ilmu keagamaan meskipun dalam konteksnya mereka jauh lebih moderat dan lebih bebas dibanding ulama’ terdahulu. Sedangkan golongan kedua adalah golongan yang memahaminya dengan bebas tanpa dalil-dalil agama, kalaupun ada dalam memahaminya mereka tidak menggunakan dasar-dasar ilmu agama.

Jika ulama’ masa kini ada yang mengatakan bahwa hijab atau jilbab hanyalah perintah di masa Rasulullah saja, sebab ada bias budaya di dalamnya yakni untuk membedakan wanita merdeka dengan hamba sahaya, karena sekarang sudah tidak ada lagi perbudakan, maka kewajiban itu ditiadakan. Sehingga ketika tatanan sosial sudah mapan maka tidak ada lagi kewajiban memakai hijab. Ketika Muhammad Syahrur yang mengatakan demikian, ia memandang itu dari sisi historisnya, padahal Ibrah itu berimplikasi pada keumuman lafadznya bukan pada kekhususan sebabnya ( Al ‘Ibratu bi ‘Umumil Lafdzi Laa bi Khushushis Sabab ) . Seandainya memang demikian maka tuntutan agama yang menyangkut pakaian sebagaimana yang tertera dalam Al Qur’an dan Hadits telah menerima adat kebiasaan itu sebagai sesuatu yang baik. Dengan demikian mengapa harus dihapus ? padahal implikasinya baik untuk agama. Ia juga mengatakan bahwa juyub ( lubang yang harus ditutupi ) hanyalah aurat pokok bagi wanita seperti payudara, kemaluan, pinggang dan pantatnya. Padahal dalam konteks budaya pada masa itu juyub adalah lubang baju yang ada di leher. Kenapa dia tidak merujuk pada sisi historis budayanya dalam mengartikan juyub ?. Dalam hal ini penulis tidak bisa menerima apa yang menjadi alasan Syahrur. Jikalau hijab hanya merupakan budaya sebagaimana yang beliau paparkan dalam penjelasan yang ia pandang dari sebab nuzul ayat itu, mengapa pada ayat-ayat lainnya ada larangan menampakkan perhiasan dan bertabarruj sebagaimana gaya berdandannya orang-orang jahiliyah. Padahal jikalau itu budaya tentunya gaya berdandan mereka juga merupakan budaya yang seyogyanya harus diikuti. Akan tetapi Islam malah melarang berdandan sebagaimana orang-orang jahiliyah. Memang budaya sangat mempengaruhi, namun apakah melindungi diri dari kejahatan lelaki yang tidak beriman itu suatu hal yang tidak diperbolehkan?. Jika memang memakai hijab atau jilbab ( baca: menutup aurat ) itu tidak di syari’atkan, mengapa dalam sholat seorang wanita harus menutup seluruh tubuhnya dan hanya boleh menampakkan wajah dan telapak tangannya?. Memang perkara aurat tidak dijelaskan secara implisit di dalam Al Qur’an mengenai batasan-batasannya. Akan tetapi banyak hadits yang menerangkannya. Yakni hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At Thabary dari Qatadah yang menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan tangannya. Riwayat itu menyatakan :

Nabi saw. bersabda : Tidak halal bagi seorang perempuan yang percaya kepada Allah dan Hari Kemudian dan dan telah haid ( baligh ) untuk menampakkan tubuhnya kecuali wajah dan tangannya sampai di sini ( lalu beliau memegang setengah tangan beliau ). Hadits ini adalah hadits shahih.

Dalam hal ini penulis bukannya tidak mengakui pendapat Syahrur dan rekan-rekannya yang sepaham, hanya saja penulis kurang bisa menerima apa yang beliau paparkan mengenai kewajiban menutup aurat adalah karena bias budaya. Menurut hemat penulis, jilbab adalah pakaian syar’i yang wajib dikenakan oleh wanita muslimah, yang merupakan bagian dari hijab diri, pakaian itu harus bercirikan sebagai berikut :

1. Menutupi seluruh tubuh kecuali yang disebutkan di dalam Al Qur’an, yakni dalam firmanNya “ selain apa yang biasa tampak darinya “.Pendapat yang paling kuat dalam tafsir, pengecualian ini ditujukan pada wajah dan telapak tangan.

2. Pakaian tersebut tidak tipis dan transparan, sehingga kelihatan tubuhnya dan tidak kelihatan seperti telanjang.

3 Pakaian itu tidak memperlihatkan lekuk tubuh, meskipun pakaian itu menutupi seluruhnya dan tidak transparan tetapi jika ketat maka tidak diperbolehkan.

4 Kerudung yang digunakan sebagai tutup kepala harus memanjang menutupi bagian dada wanita sekaligus punggungnya.

Jika dalam hal berpakaian, jilbab merupakan pakaian muslimah yang notabene menutup aurat, maka dalam bersikap pun hendaknya seorang muslimah harus membentengi hati dan jiwanya dengan menjaga sekaligus menghijabinya dengan keimanan dan ketaqwaan agar tidak terjerumus dalam godaan nafsu syahwat yang menghanyutkan. Oleh karena itu, larangan menampakkan perhiasan ( baca: aurat ) itu tidak semata-mata untuk membedakan antara wanita merdeka dan hamba sahaya yang dalam konteks ini sangat tampak unsur budayanya, melainkan untuk menjaga diri baik wanita maupun laki-laki dari godaan nafsu syahwat yang semua orang pasti bisa tergoda. Sebab, meskipun zaman sudah modern dan perbudakan tidak ada lagi namun ketertarikan antara laki-laki dan perempuan tetap ada dan akan terus ada. Karena, hal itu sudah menjadi fitrah lahiriyahnya. Sehingga sebagai wanita mukminah yang taat haruslah menjaga kesucian dirinya dengan membentengi diri dengan hijab atau jilbab dhahir yakni pakaian syar’i dan hijab batin ( iman dan taqwa ).

Daftar Referensi :

Al Barudy, Imad Zaky Syeikh, 2007, Tafsir Wanita ( Judul Asli : Tafsir Al Qur’an Al Adhim li An Nisa’ ), Kairo: Maktabah At Taufiqiyah

Qardhawi, Yusuf, Prof.Dr, 2009, Ensiklopedi Muslimah Modern, Depok: Pustaka IMAN

Ash Shobuny, Muhammad Ali, 2001, Shofwatut Tafasir, Beirut : Dar El Fikr

____________________, 2001, Rawai’ul Bayan Fii Tafsiri Ayatil Ahkam, Beirut : Dar El Fikr

Shihab, Quraish,M, 2007, Tafsir Al Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an, ( Vol. 9 dan 11 ), Jakarta : Lentera hati

________________, 2006, Jilbab : Pakaian Wanita Muslimah, Jakarta : Lentera Hati

Syahrur, Muhammad, Prof.Dr, 2008, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer ( Editor : Sahiron Syamsuddin ), Yogyakarta : Pustaka elSAQ

_________________, 2007, Prinsip dan Dasar Hermenutika Hukum Islam ( Editor : Sahiron Syamsuddin ), Yogyakarta : Pustaka elSAQ

Shaleh, dan Dahlan,AA, 2007, Asbabun Nuzul, Bandung : Diponegoro

Departemen Agama, 2007, Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung : Diponegoro

· Penulis adalah mahasiswi Fakultas Syari’ah , Jurusan Ahwalus Syahsyiyah semester III, IAIN Sunan Ampel Surabaya ( mahasantri Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya. Terctatat sebagai anggota Islamic Journalisme community.



[1] [1228] Maksudnya, pada masa Rasulullah s.a.w pernah terjadi orang-orang yang menunggu-nunggu waktu Makan Rasulullah s.a.w. lalu turun ayat ini melarang masuk rumah Rasulullah untuk Makan sambil menunggu-nunggu waktu makannya Rasulullah.

[2] Syaikh Ahmad Zaky Al Barudy, Tafsir Wanita ( dikutip dari Bukhari: 4793 dan Muslim : 1428 ) ( Jakarta; Pustaka Al Kautsar; 2007 ),632

[3] Quraish, Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an, ( Jakarta ; Lentera Hati; 2007), hal. 310

[4][1232] Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.

[5] Muhammad Ali Ashobuny, Shofwatut Tafasir, ( Beirut; Darul Fikr; 2001 ), hal. 491

[6] Muhammad Ali Ashobiny, Rawai’ul Bayan Fii Tafsiri Ayatil Ahkam, ( Beirut; Darul Fikri; 2001 ), hal. 305

[7] Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah…. , hal.320

[8] Shaleh dan AA. Dahlan, Asbabun Nuzul, ( Bandung; Diponegoro;2007 ), 383

[9] Muhammad Ali, Shofwatut…., ( dikutip dari Darril Mantsur juz 5 hal 40 ), hal. 304

[10] M.Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah…., hal.265

[11] [1050] Maksudnya: pakaian luar yang kalau dibuka tidak Menampakkan aurat.

[12] Ibid, hal. 398

[13] Muhammad Ali, Rawai’ul…., hal. 305

[14] Quraish Shihab, Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah, ( Jakarta ; Lentera Hati; 2006 ), hal. 187

[15] Syeikh Imad Zaky Al, Tafsir…., hal.643

[16] Quraish, Jilbab….., hal.124

[17] Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer,( Editor : Sahiron Syamsudin ) ( Yogyakarta; elSAQ Press; 2008 ), hal.507-509

[18] Quraish Shihab, Jilbab….., hal. 127-140

[19] Ibid, hal.147